What a Small World
Oleh : Lidya Renny Chrisnawaty
Aroma manis brownies yang baru
matang dari oven menerbitkan selera makan Vonny. Dia langsung melompat dari
kasurnya, meletakkan novel Breaking Dawnnya
di meja belajar. Lalu melesat menuju dapur secepat mungkin.
Di dapur rumahnya yang mungil itu terlihat Mamanya menata potongan
brownies yang masih mengepul di sebuah piring keramik berhiaskan ukiran bunga
kecil dengan hati-hati. Tangan Vonny terulur, tak tahan ingin mencomot dan mengecap
lembutnya brownies itu di mulutnya.
“Jangan! Ini buat tamu!” sentak
Mamanya lalu menampik tangan Vonny. Mengangkat piring itu ke balik punggungnya.
Melindungi dari terkaman tangan Vonny.
“Ah, Mama! Satu aja, pleaseee…”
rengek Vonny putus asa. Dia selalu suka kue-kue buatan Mamanya. Tak peduli pada
badannya yang mulai melar serupa karet gelang.
“Vonny!
Kamu kan harus diet! Lihat badanmu itu! Nyaris tak berpinggang,” tegur Mamanya.
Vonny melirik sekilas ke tumpukan
lemak di pinggangnya, tapi terkesan tak peduli. Rasanya dia sekarang jadi punya
pengelihatan super. Karena dilihatnya dengan tatapan beringas sepiring penuh
brownies, menembus badan Mamanya.
“Ting Tong.” Bunyi bel.
“Vonny, buka pintu sana.” perintah
Mamanya galak.
“Mama aja deh,” dengus Vonny malas.
“Kalo Mama yang buka pintu, nanti
kamu bakal melahap habis semua brownies ini,” tuduh Mamanya.
Vonny meleletkan lidahnya. “Makanya
serahkan secara terhormat aja, Ma. Aku tidak akan menghabiskannya. Paling hanya
tiga biji aja.” Dia nyengir, barisan gigi putih rapi berderet seperti biji
jagung.
“Baiklah.” Mamanya menyerah.
Disendoknya tiga buah brownies dan meletakkanya dalam piring kecil. “Nih,
sekarang, buka pintunya.”
Vonny nyengir. Menusuk satu brownies
dengan garpu lalu menggigitnya. Hmm manis dan lembut… “Oke, Ma.”
Vonny terperangah. Di hadapannya
berdiri seorang cowok ganteng. Otot-ototnya membayang dibalik kaos tipis yang
dikenakannya. Kulit kecoklatannya membuatnya terlihat makin macho dan exotic. Brownies yang dipegang Vonny
melayang jatuh sia-sia ke karpet.
Oh,
my God! Ada Jacob Black! Vonny mengucek matanya. Memastikan dia tidak
bermimpi. Tapi suara ngebas cowok itu menggugah kesadarannya.
“Ehm, benarkah ini rumah Ibu Erni?”
Cowok itu melirik sekilas ke kertas kecil di tangannya lalu memandang Vonny.
“Be-nar.” Vonny mengangguk cepat. Gugup.
Dan kemudian merasa malu. Dia belum mandi, rambutnya jabrik bak singa, nafasnya
sebau nafas naga, dan dia masih memakai piyama kedodoran yang celananya melorot.
Oh, no. Dia tiba-tiba merasa menyesal
tidak mengindahkan nasehat Mamanya yang selalu menyuruhnya langsung mandi
setelah bangun tidur.
“Ma, ada tamu,” teriak Vonny. Dia langsung mundur teratur, tersenyum
semanis mungkin pada si ganteng. Memelototin Mamanya lalu melesat ke kamar
mandi.
Di kamar mandi Vonny membabi buta. Mandi secepat kilat, lalu dandan.
Meng-hairdryer rambutnya lalu
mencatoknya supaya selurus air terjun, memoles wajahnya dengan bedak tipis dan
lipgloss pink pastel supaya tidak terkesan menor.
Takut sang tamu keren keburu pamit, Vonny langsung menyambar sepotong
kaos pink dan celana jeans selutut. Melirik sekilas pada cermin. Lalu dia turun
buru-buru dari tangga, sampai nyaris terjengkang. Sampai di anak tangga
terakhir, dia melongok dan melihat sang tamu keren masih duduk manis di sofa
merah marun di ruang tamunya. Vonny turun dengan gaya sok anggun, bak Tuan
Putri kelaperan.
Rega, si tampan rupawan yang ternyata sedang mengunyah brownies itu
mengelap tangannya dengan tissue. “Rega.”
Dijabatnya dengan mantap tangan Vonny yang jemarinya mirip bayi-bayi pisang
itu.
“Vonny.” Rona merah sewena-sewena membias di kedua pipi bakpao Vonny.
“Rega ini anak temen Papa, Om Handi itu loh. Nah sementara Papa dan Om
Handi ada bisnis penting di luar kota selama seminggu, Rega akan tinggal disini,”
Mamanya menjelaskan panjang kali lebar sama dengan luas.
What?!! Cowok setampan ini
serumah ama aku? Oh, mimpi apa aku semalem? Atau jangan-jangan ini mimpi?! Vonny
iseng mencubit pinggangnya sedikit lalu meringis menahan sakit.
* * *
Arman. Ya cowok itulah yang enam
bulan yang lalu mencampakkannya. Tak ada angin, tak ada hujan, matahari pun
bersinar ceria kuning keemasan. Eh tapi Arman langsung melontarkan kata putus
lalu ngeloyor begitu saja, meninggalkan Vonny yang shock terpaku di tempatnya.
Malam jomblo pertamanya, Vonny
langsung membanjiri bantal bersarung doraemonnya. Menghabiskan tiga rool tissue
gulung untuk menyedot ingusnya. Padahal semuanya udah dia lakukan demi
mendapatkan perhatian Arman, cowok putih berlesung pipit itu. Dulu rambutnya
ikal, tapi mendengar gosip Arman suka cewek berambut air terjun, segera aja
Vonny mem-bonding rambutnya. Pun ketika dia mendengar celotehan Arman bahwa dia
suka cewek langsing. Vonny langsung diet mati-matian, memakan sayuran hijau
setiap hari sampai diejek Mamanya seperti kambing. Fitness sampai tulangnya
rasanya patah-patah. Akhirnya Arman memperhatikannya.
Segalanya begitu indahhh sekalii. Arman orangnya baik dan perhatian. Mereka
melalui enam bulan masa pacaran dengan sedikit letupan-letupan kecil
pertengkaran, itupun selalu dengan cepat berbaikan kembali. Namun pada
peringatan enam bulan hari jadian mereka, Arman tega memutuskannya meski
seingat Vonny tak ada masalah apa-apa.
Sejak itu Vonny menggila lagi.
Melampiaskan segala emosinya dan kekesalannya pada makanan. Dia terus-menerus
makan. Tiap temannya ngajak makan kemana, dia iya-iya aja. Ke Kentucky Fried
Chicken oke, ke Mc Donalds ayo aja, ke Pizza Hut yummy. Tak heran tubuhnya
malah lebih membengkak dari saat sebelum dia diet demi Arman.
Sekarang setelah ada sosok tampan
di depan mata, dia jadi menyesal kenapa sih merusak dirinya sendiri hanya
karena seorang Arman? Okelah Arman ganteng, tinggi, jago basket, tapi juga jago
mematahkan hati cewek?! Tapi kata orang kan patah satu tumbuh seribu.
Malam itu juga, Vonny memutuskan akan kembali merawat dirinya. Kata orang
dia lumayan manis. Kulitnya juga putih keturunan dari Papanya yang Chinese,
tapi matanya bulat seperti Mamanya yang Jawa. So, seharusnya tak akan sulit
baginya mencari pengganti Arman, andai saja dia tidak menggembungkan diri
seperti balon!
Jemari Vonny asik browsing tips-tips diet terkini. Saking seriusnya, dia
tidak mendengar ketukan di pintu kamarnya. Baru begitu ketukan itu terdengar
keras, dia sampai terlonjak kaget. Dia menggerutu, mengira Mamanya pasti mau
pinjem kuteknya lagi. Dibukanya pintu pelan, Vonny langsung panik karena dia
menggenakan daster batik oleh-oleh dari Tantenya saat ke Yogyakarta, yang udah
kucel saking seringnya dipakai.
“Eh, ehm, Rega. Ada apa ya?” Vonny menekan suaranya supaya terdengar
lembut. Matanya juga sibuk lirak-lirik ke seisi kamarnya. Oh, apakah ada bra
tersampir sembarangan? Atau piring dan gelas kotor yang belum dia bawa ke
dapur? Oh, untunglah hari ini kamarnya sedang rapi. Biasanya kamarnya seperti
habis dilanda Tsunami.
“Oh, kata Tante kamu punya koleksi
CD musik yang keren-keren. Pinjam donk.”
“Boleh aja, pilih aja sendiri.” Vonny menunjuk rak CD-nya di pojok
kamarnya.
Rega melangkah ke arah yang ditunjukkan Vonny. Tak sengaja dia menyenggol
sebuah bingkai foto di meja kecil.
“Aduh, sorriii…” Rega memungut foto itu dan membaliknya. Dia terperangah.
“Loh, Ini kan Arman.”
“Loh, kok kamu kenal?” tanya Vonny heran.
“Iya. Arman kan sepupuku.”
“Hahhhhh!” Vonny langsung mangap selebar mungkin kayak Kuda Nil minta
jatah makan. “Dunia sempit sekalii sihhh.”
“Emangnya kenapa?” tanya Rega heran melihat reaksi Vonny yang lebay.
“Dia… dia… kan…” ucap Vonny terbata-bata. Ngaku gak, ngaku gak. Tapi kalo
ngaku ntar aku malu di depan Rega karena kesannya aku cewek gak berguna yang
dicampakkan begitu aja. Boong apa jujur ya?
“Dia mantan pacarku, aku yang mutus dia soalnya aku bosen sih sama dia,” Vonny
akhirnya memutuskan untuk bohong. “Orangnya lama-lama gak asik dan nyebelin.”
“Oh, baguslah! Soalnya dia udah ngerebut pacarku jadinya aku seneng kalo
dia juga diputus cewek,” ungkap Rega agak emosi.
“Hahh, ngerebut pacarmu?”
“Iya, kami sempet saling jotos tapi ya udahlah cewekku juga mau sama dia.
Entah dipelet apaan tuh si Vivi. Lagian itu juga membuktikan Vivi itu gampang
berpaling dariku, jadi buat apa sih aku pertahanin cewek kayak gitu. Bener gak?”
“Oh, bener itu.” Vonny mengangguk-angguk girang.
“Vivi itu cantik dan langsing kayak model. Tapi buat apa kalo kecantikan
fisik itu gak dibarengi dengan kecantikan hati. Setelah ini aku gak akan
mencari cewek cuman cantik fisiknya aja tapi dia gak setia.”
“Wah benar itu, betul betul betul.” Vonny mengangguk-angguk setuju. “Trus
pengennya yang kayak apa?” tanyanya penasaran.
“Hmm… yang pastinya setia,” ungkap Rega. “Dan juga baik hati, murah hati,
suka menabung dan tidak sombong,” tambahnya dengan nada bercanda.
“Berarti aku punya kesempatan donk?” goda Vonny.
Rega tersenyum dan mengerling. “Ambil dulu deh formulir pendaftarannya.
Isi yang lengkap dengan foto 4 R baru deh aku seleksi.”
“Emangnya audisi?” Vonny mencibir. Rega tersenyum penuh arti.
* * *