The Last Snow di Yogyakarta
Oleh : Lidya Renny Chrisnawaty
“Aku tahu akan menemukanmu disini
lagi.”
Flo mendongak lalu mengeryit,
berusaha mengenali sosok pria tampan berwajah oriental yang tersenyum
kepadanya. Sedikit air menetes dari ujung rambutnya. Jaket cokelat tua yang
dikenakannya basah pada bagian bahu. Flo tidak menyadari di luar turun hujan. Sudah
satu jam dia duduk di Starbucks, sibuk menarikan jarinya di atas keyboard
laptop putih kesayangannya.
“Lupa denganku? Harusnya kamu
lebih banyak minum teh hijau daripada kopi. Teh hijau meningkatkan daya ingat dan
kemampuan berpikirmu lebih responsif,” sindir pria itu sambil menatap tumbler Caramel Macchiato Flo yang sudah kosong.
Ingatan Flo terlempar ke peristiwa
setahun lalu, tepat saat malam pergantian tahun…
* * *
Rentetan kendaraan merangkak
pelan menenuhi jalan Laksda Adi Sucipto. Masih pukul delapan
malam tapi suara klakson terdengar nyaring bersahutan dengan suara terompet
yang terlalu awal ditiup. Flo berdecak kesal, menyesal dia tidak menolak mengantarkan
Reni ke Bandara Adisucipto. Seharusnya dia sudah berada di rumah menyesap
secangkir kopi sambil membaca novel yang menarik. Dia tidak punya rencana malam
tahun baruan dengan siapa pun. Reni, sahabatnya malah tega meninggalkannya
pergi ke Bali untuk menemui pacarnya, tentu tanpa mengajaknya.
Sejak dua tahun lalu Adrian memutuskannya
karena harus menikahi wanita pilihan orang tuanya, Flo belum berminat untuk
mencari pacar lagi. Meski cukup banyak pria yang menyatakan cinta padanya,
hatinya masih serasa membeku. Dia melajukan mobilnya ke parkiran Mall Ambarukmo
Plaza. Dia berharap secangkir kopi mampu membuatnya nyaman.
Flo memesan Caramel Macchiato lalu melangkah mencari meja yang kosong, memilih
tidak memperdulikan pengunjung Starbucks yang kebanyakan berpasangan. Dia
membuka tutup tumblernya, menyesap
kehangatan khas yang menguar sambil memejamkan mata.
“Aduh!”
Flo terpekik, seseorang
menyenggol bahunya. Sepercik kopi panas membasahi kemeja putih berenda yang dia
kenakan. Dia menoleh, bersiap mengumpat seseorang yang membuat malamnya makin
menyebalkan.
Seorang pria berwajah oriental
dengan mata agak sipit dan berkulit putih menampakkan raut wajah menyesal.
“Maaf, aku tidak sengaja.”
“Kemeja ini berharga, sekarang
kamu membuatnya ternoda!”
“Maaf, aku akan membelikanmu yang
baru.”
“Sudah tidak ada yang jual!”
“Kalau begitu akan kucucikan
sampai bersih. Aku berjanji…” Pria tampan itu tersenyum, berusaha melunakkan hati
Flo.
“Tidak perlu…” Flo akhirnya malas
berdebat lagi. Dia berusaha membersihkan noda kopi dengan tissue basah. Tapi
tetap susah hilang.
“Come on. Jangan ngambek begitu. Boleh aku minta nomer handphone-mu?
Flo mendelik. “Apa kamu selalu
memakai trik begini untuk mendapatkan nomer handphone wanita?”
Pria tampan itu terperangah lalu
tertawa. “Aku sudah berjanji akan mencucikan kemejamu. Tentu setelah bersih dan
wangi, aku butuh nomer handphonemu untuk mengembalikannya?”
Rona merah menjalar di wajah Flo.
“Sudah, tidak perlu. Aku bisa mencucinya sendiri.”
“Kalau aku sudah berjanji, aku
berusaha menepatinya, Nona.” Pria tampan itu mengulurkan tangannya. “Namaku
Toshiyuki, kamu?”
Meski masih merengut karena
kesal, Flo membalas uluran tangan Toshiyuki. “Flo. Florida.”
“Nama yang cantik. Seperti kamu…”
Toshiyuki tersenyum. “Nah, sekarang boleh aku minta nomermu?”
Flo menyebutkan deretan angka
yang langsung disimpan Toshiyuki di handphone-nya.
“Thanks. Nah nomerku…” Saat
Toshiyuki hendak menyebutkan nomernya, handphone-nya berbunyi. “Halo? Ya, Mama?
Oh? Baik. Aku mengerti.”
Flo menyesap kopinya sambil
mengamati perubahan wajah Toshiyuki. Pria itu tampak tegang lalu murung.
“Flo? Maaf, aku harus pergi
sekarang. Tapi aku berjanji akan segera menghubungimu.” Tanpa menunggu jawaban
Flo, pria itu berlalu cepat.
Flo terperangah. “Ah dasar pria!
Seenaknya saja! Ah sudahlah…” ucapnya pelan. Dia menghabiskan kopinya lalu
memutuskan untuk pulang dan tidur.
* * *
“Ingat?”
Flo merengut. “Tentu aku ingat! Namamu
Toshiyuki. Kita berkenalan di tempat ini setahun yang lalu, tepat malam Tahun
Baru. Kamu meminta handphoneku tapi tidak
satu kalipun kamu menghubungiku!”
Toshiyuki tertawa. “Good. Very good memory. Kenapa kamu tidak
menghubungi aku duluan? Bukankah ada istilah Ladies first?”
“Okey, Mister sok tampan yang pikun! Mungkin wanita di sekitarmu biasa
menghubungimu duluan, tapi aku tidak! Dan waktu itu kamu belum memberiku nomer
handphonemu!” Flo tampak marah, dia menshutdown
laptopnya, berdiri dan meraih jaketnya.
“Wow pemarah sekali.” Toshiyuki berdecak kaget. “Waktu itu memang aku
terburu-buru pergi setelah kita berkenalan sebentar. Hmmm… ada peristiwa emergency. Kalau tidak keberatan, aku
ingin menjelaskan kepadamu kenapa aku tidak menepati janjiku untuk segera
menghubungimu kembali. Please?”
Flo terdiam sejenak lalu kembali
duduk.
“Kalau begitu aku harus memesan kopi
lagi supaya tidak mengantuk mendengar ceritamu selama setahun ini.” Flo mengangkat
tangan, bermaksud memanggil waiter.
Toshiyuki meraih tangannya,
mencegahnya. “No. No more, Miss Coffee.
Kita pindah lokasi ngobrol saja, aku akan mentraktirmu green tea yang enak di Kedai Teh langgananku,” bisiknya. “Kita kesana
pakai mobilku saja, ya.”
Flo melotot. Bossy sekali! “Kopi itu pembangkit stamina!”
Toshiyuki menarik tangan Flo
sampai berdiri. “Come on, kopi
membuatmu makin terlihat seperti panda. Secangkir teh akan menyegarkanmu.”
* * *
‘Kedai Teh Michiko’ berinterior
khas Jepang, terletak di sudut Jalan Nologaten, tidak jauh dari Ambarukmo Plaza.
Gaya lesehan dengan meja kayu pendek, alas karpet polos dengan bantalan duduk. Di
beberapa sudut kedai ada bunga sakura plastik dalam pot berhiaskan tulisan
Kanji. Di dinding juga tergantung lukisan Gunung Fuji dan wanita berkimono
merah.
“Minumannya green tea. Cemilannya kami pikirkan dulu,” kata Toshiyuki kepada
seorang waitress yang menggenakan
kimono.
Flo merengut. Bossy lagi! Harusnya dia bertanya apa yang ingin kuminum!
“Mau biskuit, muffin, brownies,
atau sandwich?”
“Akhirnya kamu bertanya juga apa
yang ingin kumakan? Tapi bukankah itu cemilan khas Barat? Bukan Jepang?” tanya Flo heran.
“Aku kita kamu tidak doyan
cemilan Jepang? Baiklah. Ada Dorayaki, Mochi, Takoyaki…” tanya Toshiyuki.
“Okey, Dorayaki!” potong Flo.
“Penggemar Doraemon tampaknya,”
goda Toshiyuki sambil menutup buku menu. Dia memesan sepiring Dorayaki dan
Takoyaki.
Flo mencibir. “Tapi aku bukan Nobita.”
Toshiyuki tertawa renyah. “Tentu,
kamu cantik dan pandai seperti Shizuka. Nah, sejak dari Starbucks, kamu terus
merengut kepadaku. Tampaknya pertemuan pertama kita meninggalkan kesan buruk di
hatimu. Bagaimana kalau kita mengulang kembali perkenalan kita?”
Senyum geli menghiasi bibir Flo. Dia
merasa kasihan juga dari tadi terus mencemberuti pria tampan itu.
“Namaku Toshiyuki, Ayahku Jepang,
Ibuku Jawa. Giliranmu…”
“Namaku Florida. Aku asli
Indonesia, tanpa campuran apa-apa. Oh ternyata Toshiyuki artinya
kebijaksanaan...” ucap Flo menatap layar handphonenya.
“Bagaimana kamu tahu?”
“Tentu mencari di google, Yuki,”
jawab Flo santai.
Toshiyuki tertawa. “Kalau kamu memanggilku
Yuki, artinya jadi salju”
“Hmm, ada juga Toshiyuki artinya
cerdas dan bahagia.” Flo kembali menatap layar handphone lalu meletakkannya di
meja.
“Ayahku yang memberi nama. Dia
mungkin berharap aku bahagia,” ucap Toshiyuki lirih. “Namamu? Florida, apa
artinya?”
“Florida, Bahasa Spanyol yang
artinya berbunga.”
Toshiyuki tertawa. “Bisa juga flowers. Tidak sesuai dengan dirimu.
Kamu cocoknya diberi nama Yuki karena sedingin salju,” godanya.
Flo memilih tidak membalas dan
menikmati Dorayaki-nya.
“Jangan lupa minum green tea-nya juga. Bisa melangsingkan
tubuh.”
“Jadi maksudmu aku ini gendut?”
Flo merengut.
“Hahaha, cantik kok pemarah,”
Toshiyuki terbahak. “Okey, aku ingin menjelaskan kenapa saat itu aku tidak bisa
memenuhi janjiku menghubungimu.” Raut wajahnya berubah serius. “Kamu ingat
waktu itu aku tidak sengaja menyenggolmu dan menumpahkan sepercik kopi di
kemejamu?”
“Tentu ingat, karena itu aku
marah. Kemeja itu kado terakhir dari mendiang ayahku. Noda kopinya tidak bisa
hilang,” Flo bersedakep.
“Oh, maaf, aku tentu tidak tahu
kemejamu itu bernilai kenangan, bukan uang,” Toshiyuki menampakkan raut wajah
menyesal. “Pantas waktu itu kamu begitu marah, aku berjanji akan menghubungimu
untuk membelikan kemeja baru, aku meminta nomer handphonemu…”
“No, kamu berjanji mencucikan sampai bersih kembali,” potong Flo.
“Oh, really?” Toshiyuki tersenyum. “Ya, okey. Aku begitu gugup dan
terburu-buru karena… ibuku mengabarkan kalau ayahku sakit dan aku diminta ke
Jepang untuk menemani beliau di sisa-sisa hidupnya. Seminggu lalu ayahku
meninggal, setelah mengurus pemakaman, aku kembali ke Indonesia.”
“Oh, so sorry to hear that,” Flo menyesap green tea-nya, tiba-tiba merasa bersalah karena nyaris setahun ini
mengumpat Toshiyuki sebagai pria tampan yang pembohong dan tidak bertanggung
jawab.
“Thanks.” Toshiyuki tersenyum tipis. “Sebenarnya aku sendiri tidak
ingat ayahku seperti apa. Ibuku menceritakan saat aku berumur setahun, ayahku
menceraikannya dan kembali ke Jepang. Sampai aku dewasa, dia tidak pernah
menghubungi maupun datang menjenguk. It’s
okey, ibuku bisa membesarkanku dengan baik sendirian. Maka saat usiaku 18
tahun aku memilih kewarganegaraan Indonesia.”
“Oh, kamu tidak ingin… sorry… mencari tahu seperti apa ayahmu?”
“Rasa penasaran itu tentu ada.
Tapi aku tidak ingin menganggu hidupnya, siapa tahu dia telah memiliki keluarga
lain. Saat lulus SMA, aku mendapat beasiswa kuliah di Jepang dan Singapore. Aku
memilih Singapore. Jadi meski aku bertampang blasteran Jepang, sebenarnya aku
belum pernah ke Jepang sama sekali, sampai….”
“Sampai ayahmu sakit?”
“Ya, aku baru saja kembali dari
Jepang. Disana aku mengetahui alasan ayahku meninggalkan aku dan ibuku. Sudah
lama ayahku sakit kanker tulang dan tidak ingin membebani ibuku dan aku.”
“Oh, kamu tentu sedih.”
“Terima kasih… Aku baik-baik
saja. Nah sekarang kamu akan memaafkanku, right?”
Flo tersenyum. “Tentu saja. Kamu
juga tidak perlu mencuci kemejaku. Biarlah noda kopi itu jadi kenangan kita.”
Toshiyuki tertawa. “Kalau begitu
kemeja itu menjadi kenangan dari ayahmu dan aku? Ah, maaf, ayahmu meninggal
kenapa?”
“Sudah lama, waktu aku SMA.
Leukimia. Kemeja itu hadiah ultahku, sampai sekarang aku masih suka memakainya
jika rindu padanya. Dan untunglah masih cukup.” Flo tertawa.
Toshiyuki tersenyum. “Kita
sama-sama tidak punya ayah lagi. Aku bersyukur bertemu denganmu malam ini. Jadi
aku tidak merayakan malam tahun baru sendirian seperti tahun lalu.”
“Aku juga,” Flo menunduk malu.
“Tahun lalu setelah kamu pergi begitu saja, aku langsung pulang dan tidur.”
Toshiyuki tergelak. “Dan
sekarang? Kamu juga masih sendiri? Atau…?”
“Kan kamu bisa lihat aku tadi di
Starbucks sendirian?” Flo mengeryitkan kening.
“Wah mulai galak lagi. Hahaha.
Nah mari kita nikmati green tea dan
cemilan ini. Setelah ini kita enaknya ngapain ya? Mau aku belikan topi dan terompet
tahun baru?” goda Toshiyuki.
“Tidak ah. Aku sih ingin
merayakan dengan sunyi.”
“Malam Tahun baru mana bisa
sunyi? Ini kan waktunya bergadang meniup terompet. Berpesta. Bergembira. Masak
sih tepat pukul dua belas nanti kamu ingin pulang dan tidur lagi?”
“Jika tidak ada pilihan acara
lebih menarik, maka itulah yang akan kulakukan lagi..” ucap Flo sambil tertawa
kecil.
“Hmm… aku bukan party planner yang baik. Bagaimana kalau
kita membakar jagung saja?”
“Ah tidak ah. Aku tidak suka
jagung bakar,” tolak Flo.
“Come on. Itu kan menyenangkan. Di rumahku atau rumahmu?”
“Kan ada ibumu? Masak baru
sebentar kamu sudah harus memperkenalkan aku ke ibumu?” ucap Flo malu.
“Oh tidak. Ibuku sedang menginap
di Jakarta. Ada kerabat yang sakit. Aku tidak ikut karena baru saja pulang dari
Jepang.”
“Oh! Kok bisa sama? Ibuku ke Solo
mengunjungi kerabat. Aku malas ikut. Tahu sendiri, aku pasti ditanya hal
sensitif disana.”
“Seperti apa?” Toshiyuki tampak
tertarik.
“Ah, ya seperti ‘kapan kamu
menikah’, ya seperti itulah..”
Toshiyuki tergelak. “Itu wajar.
Kamu cantik, harusnya cepet laku.”
Flo merengut. “Jangan
menggodaku.”
Toshiyuki tertawa kecil. “Okey,
rumahku atau rumahmu? Kita habiskan malam tahun baru berdua saja.”
Wajah Flo bersemu. “Maksudmu?”
“Jangan salah tangkap. Maksudku
kita belanja saja makanan kecil dan minuman. Nah kita membuat kertas permohonan
lalu membakarnya sambil berdoa supaya terkabul. Kita ngobrol sampai jam satu
pagi lalu aku akan mengantarmu pulang. Gimana? Ah ide yang tidak menarik ya?”
Toshiyuki tampak malu dan salah tingkah.
“Tapi kan aku membawa mobil
sendiri?”
“Ah benar!” Toshiyuki menepuk
dahinya.
“Kalau begitu kita ke rumahmu
dulu dengan mobil masing-masing. Setelah mobilmu dimasukkan ke garasi, kita ke
rumahku dengan mobilku. Disana kita bisa merayakan malam tahun baru dengan
sunyi. Tidak akan jelas terdengar suara terompet maupun letupan kembang api.”
“Sunyi? Memang rumahmu di
gunung?” Kening Flo berkenyit. “Rumahku di pusat kota. Ramai sekali jika tahun
baru. Tahun lalu aku sampai menegak sebutir pil tidur supaya bisa tidur nyenyak.”
“Nah jika ingin kesunyian di
malam tahun baru, kita ke rumahku saja. Jangan khawatir, aku tidak akan
macam-macam.” Toshiyuki mengerling.
“Baiklah. Setelah ini kita ke
supermarket saja.” Flo menyesap sisa green
tea-nya.
Flo dan Toshiyuki kembali ke
Ambarukmo Plaza. Mereka berbelanja snack, cokelat, roti dan dua botol soda di
Carrefour. Satu jam kemudian mereka berdua telah sampai di pagar rumah
Toshiyuki di jalan Wates, pinggiran kota Yogyakarta.
“Ya kan? Disini sunyi. Cuma
terdengar suara jangkrik dan gemerisik daun.” Toshiyuki turun dari mobil.
Flo terpana menatap rumah
Toshiyuki yang dikepung pepohonan hijau. Tampak asri dan alami. Rumahnya cukup
luas berinterior Jawa dan Jepang. Lampion dan lampu taman menerangi rumah dan
halaman. Jarak antara rumah satu dengan yang lain sekitar 500 meter. Memang
sunyi. Jauh dari keramaian kota.
“Indah sekali… Kenapa pria
sepertimu tahan di tempat sunyi begini?”
“Ibuku yang membeli rumah ini.
Dia tidak suka hingar bingar suasana kota. Kebetulan aku berselera sama. Aku
suka membaca sambil duduk di kursi taman itu.” Toshiyuki membuka pagar rumah
dan menunjuk ke bangku kayu di halaman.
“Kamu suka membaca? Aku juga…
bahkan aku menulis….”
“Kamu seorang penulis? Wow. Aku
ingin membaca tulisanmu!” tukas Toshiyuki bersemangat.
“Ah, belum selesai. Sedikit lagi.
Aku menulis sebagai hobi untuk mengibas kejenuhan saat bekerja kantoran.”
“Pokoknya kalau novelmu sudah
terbit, aku harus jadi pembaca pertamanya!” pinta Toshiyuki.
“Baiklah, janji ya!”
Flo dan Toshiyuki saling menatap
penuh arti dan tersenyum.
“Nah ayo kita party!” ajak Toshiyuki, menggandeng Flo
duduk di kursi taman. Dia meletakkan berbagai snack dan minuman soda di atas
meja kayu panjang. “Ah, aku ambil kertas, pulpen, lilin dan korek api dulu!”
Dia berlari masuk ke dalam rumah.
Tak lama Toshiyuki dan Flo asik menuliskan
permohonan dan target mereka untuk tahun yang akan segera datang.
“Jangan nyontek!” canda
Toshiyuki, berusaha menutupi kertasnya.
Flo mencibir. “Selesaaii..!”
“Oke.” Toshiyuki menatap jam di
pergelangan tangan kanannya. “Lima belas menit lagi, kita berdoa lalu bakar
kertas ini.”
Flo tersenyum. Perasaan hangat
merambat di hatinya. Baru kali ini dia merayakan malam tahun baru yang terasa sederhana
namun manis. Dulu Adrian selalu mengajaknya merayakan di restoran mewah, namun
semua itu kini tidak berkesan sama sekali.
“Nah… kita mulai!” Toshiyuki
mengatupkan kedua tangannya dan memejamkan mata.
Flo menatap wajah Toshiyuki.
Meski pria bulu matanya lentik, hidungnya cukup mancung dan bibirnya…
“Flo?” Toshiyuki kembali membuka
matanya.
“Ah iya!” Flo malu ketahuan
mengagumi ketampanan Toshiyuki. Dia memejamkan mata dan berdoa. Aku berharap…
Setelah Flo dan Toshiyuki selesai
berdoa, mereka membuka mata dan membakar kertas permohonan. Dari kejauhan, arah
kota, mereka melihat kembang api menghiasi langit. Suaranya sedikit terdengar.
“Selamat Tahun Baru, Flo…” ucap
Toshiyuki lembut sambil tersenyum. “Semoga semua yang kamu inginkan tercapai
tahun 2014 ini…”
“Selamat Tahun Baru juga, Yuki…
Semoga kamu selalu bahagia…” ucap Flo.
“Saat ini aku sudah bahagia,
Flo..” Toshiyuki mengedipkan mata.
“Aku juga…” Wajah Flo bersemu
kemerahan. Kita baru dua kali ini
bertemu, tapi rasanya kita sudah mengenal lama. Apakah kamu jodohku, Yuki?
* * *
Hari-hari berikutnya berlalu
penuh gelak tawa, tidak menyisakan kesedihan untuk hinggap. Yuki membuat
tulisan-tulisan Flo sekarang terasa lebih bermakna. Yuki suka membaca, Flo suka
menulis, perpaduan yang pas. Yuki mengkritik tulisan Flo jika dianggapnya tidak
logis maupun aneh. Flo berusaha menerima masukan itu dengan lapang hati. Perbedaan
itu tetap ada dalam setiap hubungan, Yuki menyukai teh, sedangkan Flo masih
tetap rajin menyesap kopi untuk mengibaskan kantuk di malam-malam menjelang
deadline penyerahan naskahnya. Namun mereka saling melengkapi.
“Aku berjanji akan datang saat
peluncuran novelmu,” ucap Yuki sambil menggenggam tangan Flo erat.
“Tentu, awas kalau tidak datang! Kamu
harus jadi pembeli pertama!” ucap Flo mantap.
“Hei, sebagai pria yang kamu
cintai, aku kira akan mendapat novel gratis?” goda Toshiyuki.
“Siapa yang bilang aku
mencintaimu? Baru sebulan kita kenal. Cinta tidak hadir secepat itu.”
“Pernah dengar istilah love at the first sight? Kamu bisa
bilang sekarang… di hadapan orangnya langsung…” Toshiyuki tersenyum.
“Ladies First?” Flo mendelik.
“No. Aku duluan, I love you,
Florida… Aishiteru forever…” Wajah Yuki bersinar terang.
Flo tersenyum. “I love you too… Yuki.” Hatinya
mengembang oleh perasaan bahagia.
* * *
Dering ringtone handphone sayup
terdengar. Flo setengah mati berusaha membuka matanya yang baru saja menutup
satu jam yang lalu. Tertera nama Yuki di layar handphonenya. Flo tersenyum.
“Halo, sepagi ini sudah merindukan aku?” Flo
menatap jam di dinding, pukul dua pagi.
“Halo… aku ibu Yuki.” Suara
seorang wanita bergetar disana. “Yuki kecelakaan…”
Flo merasa dunia runtuh
menimpanya.
* * *
Dua
minggu berlalu sejak kepergian Yuki. Acara peluncuran novel perdananya “The
Last Snow” di Toko Buku Gramedia ramai dipadati banyak pengunjung. Tangan Flo
bergetar saat harus menandatangani novelnya. Penat. Lelah. Sekitar lima puluh
orang masih berada dalam antrian dan dia sudah tidak tahan ingin segera
meneteskan airmata. Pelupuk matanya terasa berat. Sosok yang dia harapkan tidak
akan pernah hadir, sampai kapan pun dia menunggu…
Yuki, kamu berbohong! Kamu tidak
datang saat ini! Aku berharap kamu akan
selalu bersamaku selamanya, tapi itu tidak terkabul!
Satu jam kemudian Flo berdiri di
luar. Hawa dingin menerpa. Dia bergidik dan merapatkan jaketnya. Toshiyuki
berlalu menyusul ayahnya. Hujan rintik turun perlahan seperti salju. Sekarang
rasanya hatinya pun sedingin salju…
* * *