-Lidya
Renny Chrisnawaty-
Ketukan high heelsku berhenti. Aku mendongak, menatap gedung bertingkat dua
di hadapanku. Mulai hari ini, gedung berpintu kaca itu akan menjadi tempatku
menenggelamkan diri dalam timbunan pekerjaan. Itulah yang kuperlukan, supaya
aku tidak lagi mengisi kekosongan hariku dengan meneguk bercangkir-cangkir kopi
lalu menangisi dirinya. Enough is enough!
Time to move on.
I’m
ready! Aku
kembali melangkahkan kakiku menuju pintu samping khusus karyawan Bank. Seorang security berdiri di depan pintu,
membelakangiku. Tampaknya dia tidak menyadari kehadiranku.
“Selamat pagi, Pak…” sapaku.
Security
itu menoleh, pelan, tapi langsung membuat jantungku seolah tertahan sedetik,
kemudian melaju dengan kecepatan tinggi.
Oh tidak. Tenanglah, Lisa. Enough, jangan pikirkan soal cinta lagi.
Abaikan alis mata tebal, bola mata tajam sewarna kayu, hidung mancung dan bibir
menggemaskan itu! Kamu ada disini untuk bekerja, sekeras yang kamu bisa! Pikiranku
sibuk komat-kamit.
“Selamat pagi, Bu… anda karyawan
baru?” Dia tersenyum, membuatnya semakin terlihat ganteng. Kuperkirakan usianya
baru dua puluh lima tahun. Oh, abaikan, Lisa. Dia bahkan lebih muda darimu.
Aku menegakkan badan. Berusaha tampak
tenang sekaligus anggun.
“Ya, perkenalkan nama saya Lisa. Saya
pindahan dari cabang Jakarta.” Kuulurkan tanganku kepadanya.
“Jakarta? Bukankah kesempatan
berkarier disana lebih luas? Kenapa anda mau dipindahkan ke Jogja?” Dia
menyambut uluran tanganku dengan mantap. Hangat.
“Mencari suasana baru, Pak,” jawabku
selembut mungkin. Well, aku tidak
mungkin mengatakan alasanku kabur dari Jakarta karena patah hati kan?
“Ah, ya nama saya Yoga. Saya baru
setahun bekerja disini. Panggil Mas Yoga saja ya? Jangan Pak. Saya kan masih single.” Yoga mengerling, lagi-lagi
mempersembahkan senyumnya yang melumerkan hati.
“Okey, kalau begitu saya masuk dulu,
Mas Yoga,” ucapku.
“Silahkan, Bu Lisa.” Yoga terlihat
mengamati tanganku. Cincin pertunangan memang sudah kusingkirkan. Tapi aku sengaja
menggantinya dengan cincin emas yang tidak kalah cantik dengan pemberian si
pria breng… engg.. mantanku maksudku. Supaya orang pasti mengira aku sudah
bertunangan atau menikah, dengan begitu para pria disini akan menjaga jarak
dariku. Tertutup sudah pintu hatiku sejak…
“Bu Lisa?” ucapan Yoga membuyarkan
lamunanku mengingat kenangan menyakitkan itu.
“Ah, selamat bekerja, Mas Yoga.” Aku
mulai memasuki pintu.
“Selamat bekerja juga, Bu Lisa. Semoga
betah disini.” Yoga tersenyum dan menghormat.
Aku membalasnya dengan senyum miris.
Ya semoga saja. Kurapikan seragamku ;
blazer biru, kemeja putih dan rok selutut biru. Kuambil kaca dari dalam
tas. Kupastikan rambutku tersanggul rapi, make-upku
sempurna lalu melangkah mantap ke dalam. Yap, aku siap melayani nasabah! Meski
hatiku belum tertata kembali dan masih ada luka menganga disana, tapi aku tetap
harus sabar, tersenyum ramah, lembut dan santun pada nasabah.
Time
to work!
*
* *
Letih! Letih! Begitu sampai di rumah aku melempar tubuhku ke sofa empuk.
Sekilas mataku menangkap berbagai pemandangan yang kubenci ; beberapa buku
berserakkan di lantai, di meja ada bungkus snack dan kaleng softdrink, juga kaus tersampir di kursi.
Aku menutup mataku, memilih mengabaikannya.
Celakanya, aku malah jadi teringat
kejadian tiga bulan yang lalu.
“Apa kamu akan selalu begitu?” Ricky
menatapku tajam.
“Apa?” tanyaku, tidak mengerti.
“Menata barang-barang berulang-ulang, mengecek
pintu berkali-kali saat kita akan pergi, mencuci tanganmu terus-menerus saat
kita akan makan, menata semua benda sesuai jenis dan warna. Kamu banyak menghabiskan waktu untuk hal yang
tidak penting” Ricky tertawa tapi sinis.
“Ricky, kamu kan sudah tahu kebiasaan
itu sejak dulu?” Aku terpanjat, kenapa dia tiba-tiba mempermasalahkannya?
“Kamu seperti orang kecanduan saja.
Aku tau kamu OCD tapi aku tidak suka kamu mengomeliku saat meletakkan cangkir
sembarangan, menyampirkan baju di sofa atau terus memerintahku untuk selalu
mencuci tangan! Aku bukan anak kecil!” Kini Ricky terlihat geram.
“Ricky, aku memang OCD tapi aku kira
kamu bisa menerimanya…” ucapku sedih.
“Tidak. Aku sudah berusaha bertahan
selama ini. Aku letih melihatmu terus begitu.” Ricky menggeleng. “Sudah cukup. Aku
tidak berani membayangkan jika kita menikah dan terus meributkan hal kecil yang
selalu kamu lakukan. Kita putus saja.”
Aku mengerjapkan mata. Setitik air
bening meluncur turun dari mataku. Jemariku gemetar.
“Putus? Tapi kita sudah bertunangan.”
Aku mengusap cincin di jariku.
“Kita batalkan saja. Cincin itu… boleh
kamu simpan. Besok kamu kembali ke
apartemenmu,” ucap Ricky dingin.
Aku terpanjat. Seminggu yang lalu, dia
memintaku pindah ke apartemennya karena kami akan segera menikah akhir tahun.
Kini dia memutuskanku dan mengusirku?
“Ricky… aku mohon beri aku waktu untuk
berubah.” Airmataku merebak, menetes-netes seiring dengan terlukanya hatiku.
Aku mencoba meraihnya untuk memeluknya tapi dia mendorongku menjauh. Tampaknya
sudah tidak tersisa lagi cinta untukku di hatinya. Karena aku OCD? Oh tidak,
pasti ada alasan lain.
“Kamu tidak bisa berubah, Lisa…” Ricky
menggeleng.
“Apa ada wanita lain?” tuduhku,
menggigit bibirku kuat sehingga rasanya akan berdarah.
“Kita tidak cocok lagi. Cuma itu.”
Ricky menghindari tatapanku.
“Baiklah. Cukup. Aku tidak akan
memohon padamu lagi. Aku akan segera pindah. Bahkan malam ini juga! Besok aku
juga akan minta dipindahkan ke cabang lain. Aku tidak bisa bekerja bersamamu
dalam satu ruangan lagi!” teriakku penuh amarah.
“Terserah.” Ricky bahkan tidak peduli.
Dia meraih jaketnya lalu membanting pintu.
Hubungan kami selama tiga tahun runtuh
dalam waktu singkat, kurang dari satu jam. Aku lunglai, menangis dan menjerit
tidak karuan. Perasaan marah, sedih, kecewa, terluka bercampur aduk menjadi
satu. Tapi aku tidak sudi direndahkan olehnya.
Aku mengusap airmataku, mulai
memberesi barang-barangku. Tak lama hanya ada koper besar berisi pakaian, make up, sepatu dan bingkai foto. Aku
meraih beberapa bingkai foto berisi foto kami berdua yang terlihat bahagia.
Dulu aku suka mengusapnya atau menciumnya sambil tersenyum penuh cinta.
Sekarang cuma amarah dan kebencian yang kurasakan. Aku membanting foto itu
hingga serpihan kacanya berserakkan di karpet Ricky yang indah dan mahal - yang
katanya dibelinya di Turki.
“Rasakan! Biar saja kakinya menginjak
kaca ini sehingga dia turut merasakan sakitnya hatiku!” umpatku.
Aku juga merobek-robek foto-foto kami
menjadi serpihan dan menyebarkannya ke karpet. Sebut saja aku sudah gila! Tapi
aku memang sangat terluka. Aku juga menghamburkan ke karpet semua yang pernah
dibelikan Ricky untukku.
Ah, lihatlah jam tangan Rolex yang dibelikannya saat anniversary kami yang pertama, kini aku
menginjaknya dengan ujung high heelsku
sampai retak. Baju-baju bermerek yang dibelikannya setiap kami ke mall atau dia
keluar negeri kugunting-gunting dan kutebarkan di sofa.
Terakhir… aku menatap tajam pada
cincin yang melingkar di jariku. Begitu cantik, berkilau dan pas. Sempurna. Perlukah
kubuang? Sejenak aku ragu. Tapi kumantapkan hati, kulepas dan kulemparkan ke
kaca. Cincin itu berdenting lalu terjatuh di lantai. Biarlah, tidak perlu
kurusak. Dia boleh memberikannya kepada wanita barunya.
Aku menegakkan tubuh. Menahan kuat
airmataku supaya tidak meluncur lagi. Kutinggalkan apartemennya, menyeret koperku,
sendirian. Aku OCD katamu? Memang. Tapi
aku pun bisa membuat semuanya menjadi berantakan!
*
* *
Aku tertidur di sofa setelah ingatanku
memutar kenangan perpisahan dengan Ricky. Aku terbangun pukul tiga pagi,
merasakan kerongkonganku kering. Setelah meneguk air dari kulkas, aku merasa
lega. Terhuyung-huyung aku menuju ke kamarku, mengganti seragam kerjaku dengan
baju tidur lalu merebahkan diri di kasur.
Aku menatap langit-langit kamar. Masih
terbayang wajah tampan Ricky disana. Masih melekat pertemuan kami sebagai teller dan finance manager di sebuah Bank terkenal. Tawa kami saat bersama pun seolah masih
melekat erat di telingaku. Orang bijak bilang, waktu akan menyembuhkan luka. Baiklah,
biarlah semua terlupakan dengan sendirinya. Aku pun terlelap.
*
* *
Gila! Ini hari kedua dan aku nyaris
terlambat. Buru-buru aku menghentikan montorku di parkiran dan berlari ke
Gedung Bank. Yoga masih berjaga di pintu masuk karyawan saat pagi, kali ini dia
melihatku berlari lalu tersenyum.
“Selamat pagi, Bu Lisa!” sapa Yoga
penuh semangat.
“Selamat pagi juga, Mas Yoga. Saya
telat ya?” ucapku sedikit terengah.
Yoga menatap jam di pergelangan
tangannya. “Nyaris. Tapi saya rasa morning
briefing belum dimulai.”
“Okey,
saya masuk dulu.” Aku melangkah menuju pintu.
“Bu, tunggu.”
“Ya?” Aku menoleh.
Aku terpanjat. Wajah Yoga mendekat.
Tangannya meraih rambut yang menjuntai ke wajahku. Dia merapikannya. Hatiku
berdesir.
“Sanggulnya sedikit tidak rapi, Bu.”
Yoga tersenyum, tatapan matanya melelehkan hatiku. Wangi parfum beraroma kayu
tercium lembut.
“Terima kasih,” kataku gugup. Aku
melangkah masuk agak tergesa sambil meraih cermin dari dalam tas dan mengaca.
Pukul delapan tepat, aku sudah bersiap
di depan meja teller. Aku melirik
pintu. Beberapa nasabah bersiap masuk, terlihat dari pintu kaca. Yoga dengan
sigap membukakan pintu dan menyapa mereka ramah. Seragam security-nya terlihat rapi dan bersih. I wonder siapa yang telah mencuci dan menyetrikakan untuknya?
Istrinya? Tapi sepertinya tidak ada cincin melingkar di jarinya.
Seorang nasabah ibu gemuk masuk
terburu-buru, bahkan tidak memperdulikan sapaan Yoga. Makeupnya menor, dia berdiri di depan mejaku. Wajahnya terlihat
kesal.
“Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa saya
bantu?” sapaku ramah.
“Mbak! Saya sudah menunggu di luar
sepuluh menit. Saya itu buru-buru loh. Saya harus jemput anak sekolah, arisan
berlian dan bisnis fashion. Saya itu sangat sibuk, jadi waktu berharga buat
saya!” omel ibu gemuk ketus. Dia seperti toko perhiasan berjalan karena kalung,
gelang dan cincin yang dia pakai.
“Begini, Bu, kami buka jam delapan…
jadi…” Aku berusaha sabar menghadapinya.
“Saya tidak mau tahu! Saya…”
“Permisi, Bu? Ada apa ya?” Yoga
mendekat ke kami.
Ibu itu langsung mengamati Yoga lekat.
Bola matanya bersinar dan senyumnya tiba-tiba merekah. Suaranya pun berubah lembut.
“Tidak apa-apa, Mas. Saya tadi hanya
agak kesal sudah menunggu lama di luar.” Pandangan mata ibu itu tak lepas dari
wajah Yoga. Sebenarnya aku pun begitu. Aku cukup heran kenapa pria seganteng
dan segagah dia tidak melamar menjadi foto model saja.
Yoga tersenyum. “Begini, Bu. Bank kami
buka pukul delapan tepat jadi bila Ibu datang sebelum itu, mohon maaf Ibu harus
menunggu.”
“Ya, tidak apa. Ngomong-ngomong Masnya
ganteng banget, mau bekerja di tempat saya tidak, Mas?” ucap si ibu agak genit.
Tangannya membelai lengan Yoga yang lumayan berotot.
“Maaf, Bu. Saya senang bekerja disini.
Terima kasih tawarannya. Nah silahkan melanjutkan transaksi Ibu,” ucap Yoga
ramah lalu kembali ke posisinya di dekat tangga, menyapa nasabah-nasabah yang
masuk dan membantu mereka jika perlu bantuan.
“Sayang banget ya, Mbak. Masak pria seganteng itu jadi security, saya bisa menggajinya lebih
banyak loh.” Ibu itu geleng-geleng lalu menyerahkan setumpuk uang kepadaku.
Aku memilih tidak berkomentar. “Saya
hitung dulu uangnya ya, Bu. Mohon tunggu sebentar.” Aku meletakkan uang di
mesin penghitung uang. Aku melirik ibu itu, dia tidak tampak kesal harus
menunggu. Malah dia sedang memperhatikan Yoga dengan tatapan kagum. Aku
tersenyum geli, Yoga punya fans tampaknya.
*
* *
Aku tidak tahu bagaimana awalnya,
perlahan, tanpa kusadari aku sering tidak sengaja memperhatikan Yoga. Kupergoki
dia juga sering mencuri pandang padaku. Susah sekali menolak pesonanya. Sebulan
kemudian aku sudah terjerat olehnya. Setelah berkali-kali menolak setiap diajak
makan bersama, akhirnya aku setuju.
Sabtu sore, Yoga membelah keramaian Malioboro
denganku yang duduk manis di boncengan montor RX King-nya. Dia mengajakku ke Oyot Godhong, tempat makan di lantai
tiga Mirota Batik. Kalau saja aku hanya wisatawan dari Jakarta yang berkunjung
ke Jogja untuk beberapa hari, pasti aku akan menggila membeli berbagai
oleh-oleh unik seperti batik, gelang, gantungan kunci, lampu kuno dan berbagai
barang khas Jogja dan vintage lainnya
di Mirota Batik.
“Sebenarnya ini bukan restoran tapi
ruang tunggu untuk pembeli Mirota Batik. Tapi makanan disini enak dan murah,”
kata Yoga, tertawa.
Aku tersenyum, menangkap kesan bahwa
dia bukannya pelit tapi apa adanya, sederhana. Kami melepas sepatu dan duduk
dengan meja kecil dan bantal. Setelah membolak-balik buku menu, aku memesan
bakmi Jawa goreng dan es beras kencur atas rekomendasi Yoga. Sementara dia
memesan nasi gudeg telur dan wedhang jahe. Tak sampai lima belas menit, pesanan
kami tersaji.
“Bagaimana kamu tahu kalau aku belum
menikah padahal ada cincin di jariku?” tanyaku heran.
“Kamu tidak pernah terlihat menelpon
seseorang. Yah hanya feelingku saja
sih,” Yoga tertawa, memperlihatkan deretan putih rapi. “Aku tertarik sejak
pandangan pertama padamu…”
“Kenapa? Ada banyak sekali teller cantik dan muda, mungkin
seumuranmu. Lagian aku OCD,” ucapku malu.
“OCD? Apa itu? Oh Capek Deh?” Yoga
tergelak.
“Obsessive Compulsive Disorder. Itu tidak main-main,
Yoga. Alasan itu yang membuat tunanganku memutuskanku.” Aku mengeryit.
“Hmm…
not good reason. But no problem for me.”
“Aku suka ngomel jika barang
berantakan.”
“Aku bisa menerimanya.”
“Aku sering menghabiskan waktu menata
barang sesuai warna dan jenis. Aku suka mencuci tangan berulang-ulang.”
“Okey, itu baik. Rumah akan jadi rapi
dan bersih. Aku janji tidak akan protes. Nah sekarang boleh aku memanggilmu
‘Lisa’ atau ‘sayang’?”
“Tapi aku lebih tua darimu tiga
tahun?” protesku.
“Lisa, enough now. I don’t care. Maukah kamu jadi kekasihku? Jawab saja, Yes or no ?” Yoga tersenyum lalu mendekatkan wajahnya padaku.
Wajahku memerah. Apakah Yoga the one? “Yes…”
“Enough
for me.” Yoga meraih tanganku, menggenggamnya lembut.
Rasanya aku melebur menjadi cahaya.
Aku punya dia, yang akan mencintaiku just
the way I am. Aku, apa adanya.
*
* *
Ditulis Minggu, 11 Mei 2014 22:57