Saturday, July 19, 2014

Jiva


-Lidya Renny Chrisnawaty-
Langit rebah, kemerahan. Resah, andai bisa kutikam jantung waktu supaya tak kudengar jeritan kekasihku dan teman-temannya melengking kesakitan. Lidah api menari-nari, semakin membesar melahap apa saja yang dilewatinya. Semua sudah terlambat. Aku tak berdaya mencegahnya. Sebut aku pengecut! Karena memang itulah aku! Aku hanya bisa diam terpaku, menyaksikan alam dimusnahkan dengan kejamnya. Kepulan asap meliuk-liuk liar, membumbung ke angkasa. Hawa yang menyesakkan menyelusup ke paru-paru. Kretakan gemeretuk tulang pepohonan terdengar nyaring. Pedih! Sesak!
* * *
Kicauan burung bercuit-cuit terdengar nyaring. Sorot mentari terasa hangat menyapa kulit. Aroma hutan yang segar membius indera penciuman, rimbunan hijau yang memanjakan mata. Sebuah sungai kecil mengalir jernih tak jauh dari deretan pepohonan. Cacing mengeliat di gemburnya tanah yang basah sisa hujan semalam. Sesekali terlihat ular meliuk genit di antara akar pohon. Pagi yang sempurna. Kunikmati sesaat, sebelum suara desing yang memusingkan kepala. Ah bising. Pusing. Pening.
Aji
Ia sungguh jelita. Itu sudah pasti. Aku selalu menyempatkan mengaguminya saat aku sibuk memeras tenaga di antara rimbunnya belantara hutan. Aku memuja rambutnya yang selalu terlihat segar, kulitnya yang kemerahan dan tubuhnya yang langsing padat. Aku berharap tak akan pernah melukainya, bahkan jangan sampai menyentuhnya seujung jari pun. Kubiarkan diriku memendam rindu yang meletup-letup juga hasrat untuk memilikinya. Ini cinta yang tak mungkin tergapai. 
Meranti
Aku mengaguminya. Dia sosok pekerja keras. Setiap hari dia selalu sibuk menghimpun tenaga untuk melibas segalanya. Aku tahu dia terpaksa melakukan itu. Karena cuma itu keahliannya. Aku tak pernah menyalahkannya meski dia harus menyingkirkan teman-temanku dari wilayah ini. Tak ada yang bisa kami lakukan, semua hanya tinggal menunggu waktu sampai dia pun harus mengusirku pergi selamanya.
Aji
“Aji! Ayo, kita harus bekerja keras hari ini! Ada banyak pengusaha besar membutuhkan kayu!” Reksa nyengir lebar. Pasti dia sudah membayangkan kantongnya akan mengembung besar, penuh oleh pundi-pundi uang.
Aku menghela napas. Aku tak pernah menyukai pekerjaan ini. Aku tahu yang kulakukan ini salah. Tapi untuk inilah aku ada, tanpa pekerjaan ini aku bukanlah siapa-siapa. Ini sudah tugasku. Sudah takdirku. Hanya satu hal yang kusukai saat aku berada di hutan sibuk membelah kayu ; menatap Meranti yang jelita.  Aku tahu kita tak akan pernah saling mengucapkan kata. Kadang aku berkhayal, andai aku bisa berlari memelukmu tanpa melukaimu, tentu sudah kulakukan. Aromamu khas dedaunan dan tetesan embun yang menitik dari ujung rambutmu menerbitkan aroma rindu yang lekat.
Letih mendera. Sepanjang hari pekerjaanku selalu sama. Berulang-ulang dan membosankan. Andai saja aku bisa bekerja yang lain tentu sudah kulakukan dari dulu. Impianku sungguh bertolak belakang dari ini. Aku ingin sekali seluruh kota dipenuhi oleh hijaunya tanaman dan pepohonan. Supaya sang air tak memuntahkan dirinya memenuhi jalanan kota. Dan aku sangat ingin Meranti turut bersamaku mewujudkan impianku itu. Tapi semua itu terlalu mustahil.
“Aji, kamu adalah teman sejatiku. Bersama kita akan kaya raya!” Reksa terbahak, membuatku muak. Ingin sekali kukatakan aku lelah bekerja seperti ini! Aku tidak setuju dengan caranya! Tapi aku tak mampu membantah. Aku hanya bisa membisu saat dia menyeretku paksa, membawaku ke tempat dimana aku merasa bahagia sekaligus sedih. Hutan adalah surgaku, sekaligus petaka, karena aku dan Reksa perlahan menghancurkannya hanya demi tumpukan rupiah.
Reksa tak pernah menyadari apa akibat atas perbuatannya di masa mendatang. Dia dan teman-temannya yang lain yang akan rugi dan menuai akibatnya, bahkan sampai ke anak cucu mereka. Meranti… maafkan aku, aku harus menghancurkan lingkungan dimana kamu berada. Aku terpaksa meski jivaku ingin meledak karena amarah dan putus asa.
Ah, tidak ada yang bisa kumintai tolong menghentikan segalanya. Masyarat sekitar hutan ini pun seolah tak peduli. Mereka tergiur dengan iming-iming uang dari Reksa. Mereka juga terpikat oleh berbagai barang elektronik yang dihadiahkan Reksa kepada mereka. Aku? Sekali lagi hanya bisa diam membisu, menatap semua dengan mata perih. Hatiku serasa tersayat-sayat menyaksikan Meranti menatapku nanar. Ia menitikkan airmata kepedihan. Ia berduka. Kesedihannya adalah kepedihan besar bagiku. Lukanya adalah perihku.  
Desing. Desing. Pusing. Pening. Aku ingin berteriak sekuat tenaga. Hentikan! Stop! Tapi Reksa tidak mau tahu. Seringai licik selalu menghiasi wajahnya, tak dia pedulikan panas matahari yang membakar kulit sawo matangnya. Dia sibuk memberi perintah kepadaku, kepada temannya yang lain. Bibirnya yang menghitam terus menghisap rokok, dilemparkannya sembarangan dengan sisa api yang masih meletik di ujungnya. Andai bisa kudengar suara sang tanah tentu dia akan memekik panas, panas, panas!
* * *
Hawa panas berpedar, keringat membuncah dari wajah Reksa. Dia terus menyeka dengan sapu tangan yang tak lagi berwarna putih. Senyumnya sumringah. Sebuah jeep hijau lumut berhenti di hadapan kami. Seorang pria gemuk berkumis tebal meloncat turun, menjabat tangan Reksa erat. Tawa mereka berdua meledak bersahutan dengan desing suara mesin.
“Ya, ya, jangan khawatir, Pak. Semuanya akan lancar. Tidak akan ketahuan. Lihat sendiri, sudah lima tahun saya lakukan ini. Dan saya tidak sekali pun pernah tertangkap!” ucap Reksa bangga, membusungkan dadanya.
“Baik. Saya percaya padamu. Saya akan segera mentransfer sejumlah yang kamu minta,” Pria gemuk itu mengangguk-angguk.
Senyum Reksa semakin lebar. Binar matanya memancarkan semangat tinggi. “Baik, akan segera saya siapkan!”
Firasatku tak enak. Jantungku berdentum-dentum nyaring. Aku menoleh ke arah Meranti yang selalu elok menawan. Namun wajahnya tampak berduka, pucat pasi, bahkan seperti ingin segera menumpahkan airmata. Ada apa? Kenapa? Apakah air sungai tak lagi memuaskan dahagamu? Ataukah tanah tak mampu lagi mengenyangkan perutmu?
“Bagaimana Parto? Sudah kamu siapkan alatnya?” Reksa menghampiri sosok pekerja bertubuh kurus dan berkulit legam arang.
“Sudah, Pak Reksa. Hari ini pasti selesai!” Parto mengangguk yakin.
“Bagus! Saya akan memberimu bonus yang banyak!”
Wajah Parto cerah, senyumnya merekah. Khayalannya pasti sudah meluap kemana-mana. Dengan bonus itu dia bisa memanjakan istrinya berbelanja pakaian dan kosmetik, juga mainan untuk anaknya. Oh andai dia bisa mendengar, semua itu harus dibayar alam dengan tangisan kesakitan.
Mereka, Reksa dan Parto juga para pengusaha akan membayar atas perbuatan mereka. Mereka pikir alam tak punya rasa? Juga kehendak? Mereka pikir alam bebas dipermainkan begitu saja? Aku geram, mereka memaksaku untuk melukai Meranti. Mereka dibayar mahal untuk menebas Meranti hingga ke akar-akarnya. Bahkan tak hanya Meranti, seluruh isi hutan ini akan dimusnahkan. Pria gendut tadi adalah seorang pengusaha besar, dia ingin membangun perumahan juga mall.
Meranti, maafkan aku. Aku pun menjerit putus asa atas tingkah mereka, manusia tak tahu diuntung! Hutan memberi mereka oksigen segar untuk bernapas, melindungi dari luapan air tapi mereka menyingkirkannya begitu saja hanya demi kemewahan yang megah.
“Aji! Aku tak memerlukanmu lagi. Setelah seluruh Meranti terjual, aku akan membakar seluruh hutan ini. Aku akan kaya raya. Aku akan berbisnis property!”
Aku mendengus tak peduli. Keberadaanku sekarang memang tak berguna lagi. Meranti yang kucintai pun telah kumutilasi dengan kejam. Untuk apakah aku menghirup napas dunia yang tak lagi ramah? Aku bersedia hancur lebur bersama Meranti dan hutan yang kucintai ini. Aku sungguh berharap jika aku terlahir kembali menjadi manusia, ‘kan kurawat alam ini dengan sepenuh cinta, jiwa dan raga. Jika aku terlahir kembali menjadi kupu-kupu, ijinkanlah aku menyesap manisnya madu bunga tanpa melukainya.
Aku adalah jiva gergaji mesin yang mencintai pohon Meranti yang jelita, salahkah? Reksa menamaiku Aji, seperti halnya manusia lain menyebut barang-barang kesayangan mereka. Awalnya dia senantiasa merawatku, melumasiku supaya taringku cukup tajam untuk menyobek setiap raga dan tulang pepohonan.
Seperti juga manusia, setiap benda dianugerahkan jiva oleh sang pencipta. Akhirnya berakhir sudah kini. Jivaku dan Meranti melayang-layang tanpa arah, sampai akhirnya kami bertemu di satu titik penentuan. Kuulurkan tanganku kepadanya. Ia tersenyum, meski luka jelas tercetak di wajahnya. Ia masih begitu muda, belum dua puluh tahun bertumbuh di alamnya, namun kini ia harus terpental keluar dari tubuhnya.
Kami bergandengan tangan, meski aku sebenarnya tak layak berada disisinya. Aku adalah sosok yang turut menghabisinya, namun ia tak membenciku sama sekali. Dia mampu menyelami sosok jivaku yang murni, keinginan terdalamku untuk melindunginya. Meski aku tak berdaya, karena di dunia nyata, aku adalah sosok yang harus digerakkan orang lain, aku tanpa kehendak.
Jivaku dan jiva Meranti terbang mengangkasa, meninggalkan letupan-letupan kematian yang dijilati lidah-lidah merah raksasa. Kesesakkan menyebar ke angkasa. Ribuan manusia terbatuk-batuk, kabut asap mencekik napas mereka. Satwa liar berlarian saling bertubrukan, mereka terbakar hidup-hidup, daging, tulang dan darah hancur lebur bersama. Paru-paru bumi ini mulai rusak, manusia berada di ujung kehancuran mereka sendiri.
Jivaku dan jiva Meranti kini abadi. Kami tak bisa dihancurkan lagi. Kami menoleh sebelum mengangkasa meninggalkan bumi. Hati kami pedih menyaksikan lidah-lidah merah raksasa merajalela melahap segala yang dulunya hijau. Kami berdoa semoga kelak manusia sadar mereka membangun rumah mereka di atas pasir penderitaan alam. Dan alam tak akan tinggal diam. Manusia ingin selalu selamat dan berlimpah segalanya, tapi mereka lupa, tugas mereka adalah menjaga bumi tempat mereka tinggal.
Gigiku bergemeretak. Genggaman tangan Meranti semakin erat di tanganku. Ia tersenyum, seolah memintaku memaafkan mereka. Aku hanya bisa memejamkan mata, menahan hasrat untuk tidak mengutuk mereka. Namun entah kenapa aku bisa melihat, tak lama lagi lempengan-lempengan bumi akan bergeser, manusia menyebutnya gempa. Gunung memuntahkan isi perutnya, manusia berlarian menghindari abu dan magma. Air berhamburan menuju daerah pemukiman manusia. Aku tercekat ngeri. Tidak! Meski manusia tak tahu diuntung, aku mendoakan supaya damai senantiasa melingkupi mereka. Amarah yang menguasaiku kembali redup. Jivaku kini putih bersih, seperti selembar kertas yang belum ternoda tinta. Cintailah bumi ini, cuman itu harapanku pada manusia. Semoga mereka mau mendengar…
* * * 
Ditulis 15-21 Februari 2014

Teh Hijau Kepala Djenggot

          Dulu aku adalah penggemar soda yang berwarna biruuu. Aku juga suka minum apa saja, kayak teh, kopi, jus, pokoknya minuman yang man...