-Lidya Renny Chrisnawaty-
Sidney Prasojo. Aku terbelalak. Nama
depannya Barat dan belakang Jawa. Blasteran? Tapi kenapa dia tidak ada tampang
blasteran sama sekali? Malah wajahnya Jawa sekali. Mata besar hitam mengkilat, hidung
yang tak seberapa mancung, kulit yang cokelat susu. Saat dia tersenyum, ada
lesung pipit di pipi kiri. Manis.
“Kenapa? Heran dengan namaku?
Banyak yang berperilaku sepertimu,” ucapnya saat melihatku tersenyum geli.
Aku tertawa. “Jadi… apa kamu akan jelasin
arti namamu?”
“Well, simple aja. Sidney berasal dari Sydney, kota terbesar di Australia. Nah disanalah orang tuaku
bertemu. Ayahku mendapat beasiswa University of Sydney dan Mamaku orang
Jakarta yang anak orang kaya, dia sedang liburan disana. Singkat cerita mereka
jatuh cinta dan menikah 3 tahun kemudian. Prasojo tentu nama belakang Ayahku
yang asli Jogja.”
“Wow keren! Untung kedua orang
tuaku tidak ketemu di Bantul dan memberiku nama itu.” Aku terkikik.
“By the way, kamu ‘kan memang
belum kasih tahu siapa namamu?”
“Ah, aku lupa. Mungkin terlalu
heran mendengar namamu. Namaku Yuni, ya karena kata Kakekku aku lahir bulan
Juni.”
“And?
Tidak ada nama belakang Ayahmu?”
“Tidak. Ayahku entah kemana dan
Ibuku meninggal saat melahirkan aku. Begitu cerita Nenekku,” ujarku, berusaha
tak menyiratkan nada sedih.
“Oh sorry…” Sidney terlihat merasa bersalah. “Hmm… baiklah Bubble Tea ini dan cake strawberry-nya aku yang traktir, okey?”
Aku tertawa. Pertemuan pertama dan
dia sudah berbaik hati mentraktir? Dia sudah mendapat poin plus di hatiku.
* * *
Kami bertemu di Perpustakaan Kota.
Kala hujan gerimis, tak begitu deras namun cukup membuat rambut lurusku lusuh
dan basah. Kukeringkan rambutku denagn sapu tangan, aku beranjak ke rak dan
memilih novel teenlit. Saat itulah aku melihatnya. Dia memegang sebuah novel
berjudul Inggris dan duduk tepat di sebelah kananku.
“Apa yang kamu baca?” bisiknya.
Aku menunjukkan Dark Love karangan Ken Terate. “Kamu?”
“The Name of the Rose, Umberto Eco. Novel ini bagus. Kamu ingin
membacanya?”
Aku menggeleng. “Bahasa Inggrisku hanya
sekedar hello and thanks.”
Dia tertawa tanpa suara. “Kamu
lucu. Hobimu membaca juga?”
“Ini perpustakaan, tentu semua
orang yang berada disini hobinya membaca.”
Dia tertawa lagi, kali ini sedikit bersuara.
Teguran langsung muncul dari beberapa orang di sekitar kami yang merasa
terganggu.
“Ssttt… kalau ngobrol, di luar
saja,” tegur seorang wanita berkacamata tebal.
“Sorry…” ucapnya pada si penegur. “Kamu punya kartu perpustakaan,
kan?” tanyanya kepadaku.
Aku mengangguk. Tentu punya, disini
aku bisa membaca dan meminjam gratis. Harga novel dan buku tak cukup ramah
untuk kantong mahasiswi beasiswa sepertiku.
“Kita pinjam aja novel yang sedang
kita baca ini, lalu kita ngobrol ke café Eternity. Gimana?”
Aku berpikir sejenak. Sejujurnya
tentang uang di dompetku. Apakah cukup untuk makan dan minum ke café? Masak
baru pertemuan pertama aku meminta dia mentraktir? Ah, aku teringat kemarin
mendapat gaji sebagai Guru Les anak tetanggaku. Cukup untuk ke café, meski
setelah itu aku harus makan nasi lauk kangkung selama sebulan.
“Baiklah.” Aku mengemasi tas dan
jaket. Kami menuju ke meja peminjaman.
Dia berdiri tepat di samping
kananku. Dia cukup tinggi, aku hanya sebahunya. Mungkin aku sudah gila, untuk
apa aku ikut dengan pria yang baru kukenal? Tapi dia kan mengajakku ke café,
bukan ke tempat yang berbahaya.
Dan di sinilah kami, menceritakan
tentang diri dan keluarga kami seakan kami dua teman yang telah terpisah lama,
saling melepas rindu. Meski aku tahu keluarga kami berbeda jauh, kuenyahkan
rasa minderku. Setelah ngobrol di café, bertukar nomer handphone, dia menawarkan mengantarku pulang. Tadi kami berjalan
kaki dari Perpustakaan ke café, ternyata dia memarkir mobilnya di parkiran underground Perpustakaan.
Oh, sekarang aku baru minder
setelah dia menaiki mobil yang terlihat mewah. Aku merasa bagai upik abu dan
ingin menghilang menjadi debu. Tapi dia memaksa mengantarku pulang jadi biarlah
dia melihat gubuk dimana aku dan Nenekku tinggal setelah Kakek tiada.
* * *
Sidney tak berubah sama sekali
meski dia telah melihat rumah reyotku. Kami tetap makan bersama, ke
Perpustakaan, dia juga membantuku mendapatkan pekerjaan part time di butik milik Mamanya. Sebenarnya aku malu bekerja pada Mamanya,
tapi aku tentu butuh uang, meski kuliahku beasiswa tapi untuk membeli buku
terkadang harus dari kantong sendiri. Aku juga harus membantu Nenek membiayai
hidup kami, uang pensiunan dari Kakek tak seberapa.
Mamanya seorang wanita yang cantik
dan ramah. Dia sangat berkelas. Kalung berlian berkilauan menghiasi leher
jenjang putihnya. Di hadapannya aku bagai itik yang sangat buruk rupa dan dia angsa putih yang sangat menawan. Sidney
pernah menceritakan Ayahnya adalah seorang Dosen Bahasa Inggris. Keluarga
sempurna, perpaduan antara intelektual dan harga melimpah.
* * *
Aku mengaduk-aduk tasku. Dompetku
tak ada! Aduh, ke mana aku letakkan? Aku berusaha mengingat. Tadi aku yakin
pergi dari rumah membawa dompet, kalau tidak mana mungkin aku bisa membayar
angkot? Sepulang kuliah, aku pergi ke… ah ya, pasti tertinggal disana!
“Dompet siapa, Sidney? Sejak kapan
kamu hobi memakai dompet wanita?” sindir Mamanya.
Sidney tertawa. Dipungutnya dompet
berwarna merah muda itu. Dilihatnya bagian dalamnya untuk mengetahui si pemilik
dompet itu. Ditariknya KTP, meluncurlah sebuah foto ke lantai.
“Wah ternyata dia lebih tua dariku 4
tahun. Well… well… dia terlihat lebih
muda dariku, berarti tampangku yang boros,” Sidney bergunam sendiri.
“Sidney, foto siapa ini?” Ayahnya
datang untuk menjemput Mamanya dari butik. Ternyata Ayahnya memungut sebuah
foto yang jatuh dari dompet milik Yuni.
“Oh, Ayah, tadi foto itu terjatuh
dari dompet milik temanku, Yah. Pasti itu foto Ibunya.”
“Ibunya?” Wajah Ayah Sidney tampak
tegang.
“Ya, sepertinya begitu. Ibunya sudah
meninggal sewaktu melahirkannya. Pasti itu fotonya waktu muda. Mungkin Neneknya
yang memberikan.”
“Sidney… apa kamu jatuh cinta dengan
temanmu itu?” Suara Ayah Sidney bergetar.
“Cinta? Aku belum tau, Yah. Tapi aku
menyukainya, dia manis, baik dan jujur. Aku…”
“Jangan! Jangan jatuh cinta
padanya!”
“Kenapa? Ayah aneh sekali hari ini?”
Sidney bingung.
Aku masuk tepat saat kusaksikan Ayah
Sidney mengatakan supaya jangan jatuh cinta kepadaku? Dompetku berada di tangan
Sidney dan foto Ibuku berada di tangan Ayahnya. Ada apa sebenarnya?
“Maaf, saya ingin mengambil dompet
saya…”
Ayah Sidney memandang tajam
kepadaku. Dia tampak shock. Tiba-tiba dia sudah menghampiriku.
“Ibumu… siapa nama Ibumu? Dan siapa
nama Nenekmu?”
“Na-nama Ibu saya Marini, kenapa,
Pak? Nenek saya Lestari…” ucapku dengan suara bergetar. Ada apa? Aku tak
mengerti.
Ayah Sidney terbelalak. Tatapannya
bergantian menatapku dan Sidney tajam. “Kalian tidak boleh saling menyukai!”
“Kenapa, Yah? Beri aku alasan yang
tepat!” Rahang Sidney mengeras.
Oh, apakah dia menyukaiku lebih dari
seorang teman?
“Karena… Ayah tidak bisa
mengatakannya…” Ayah Sidney menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah shock
bercampur sedih.
“Tidak, Ayah harus mengatakan! Kami
sudah dewasa!” desak Sidney.
“Karena… dia… dia Kakakmu, Sidney…”
ucap Ayah Sidney lirih.
Aku terbelalak. Tidak mungkin!
Sidney terperangah lalu tertawa. “Carilah
alasan yang lebih bagus, Ayah. Come on,
itu tidak lucu sama sekali!” Dalam hatinya Sidney tahu, Ayahnya tidak akan
membuat lelucon yang mengerikan seperti itu.
“Maafkan saya…” Ayah Sidney
menatapku dengan wajah memohon. “Saat Ibumu hamil, saya mendapat beasiswa ke
Australia. Itu adalah impian saya. Dan saya memilih meninggalkan Ibumu…”
“Ayah!” Sidney menggeram penuh
amarah.
“Kamu… tidak pernah cerita tentang
itu…” Mama Sidney tahu-tahu berada di belakang kami.
“Mama!” Sidney menghambur menangkap
tubuh Mamanya yang lunglai.
Airmataku
mengalir deras tanpa bisa kutahan lagi. Rasanya tanah yang kupijak runtuh. Aku
ingin bumi menelanku, sekarang juga!
( Yogyakarta, Kamis 06
Juni 2013 )
* * *
- Dikomentari Mbak Nina, editor Gramedia. Makasihhh ;)
·
Harus
bisa memilih cerita yang ingin disampaikan
·
Misterinya
dibuka terlalu mendadak, nggak ada hint yang bikin pembaca merasa terlibat
·
Hati-hati
dengan dialog. Dialog untuk memberi info / memperkuat karakter