Thursday, August 14, 2014

Sidney and June


-Lidya Renny Chrisnawaty-

          Sidney Prasojo. Aku terbelalak. Nama depannya Barat dan belakang Jawa. Blasteran? Tapi kenapa dia tidak ada tampang blasteran sama sekali? Malah wajahnya Jawa sekali. Mata besar hitam mengkilat, hidung yang tak seberapa mancung, kulit yang cokelat susu. Saat dia tersenyum, ada lesung pipit di pipi kiri. Manis.
          “Kenapa? Heran dengan namaku? Banyak yang berperilaku sepertimu,” ucapnya saat melihatku tersenyum geli.
          Aku tertawa. “Jadi… apa kamu akan jelasin arti namamu?”
         “Well, simple aja. Sidney berasal dari Sydney, kota terbesar di Australia. Nah disanalah orang tuaku bertemu. Ayahku mendapat beasiswa  University of Sydney dan Mamaku orang Jakarta yang anak orang kaya, dia sedang liburan disana. Singkat cerita mereka jatuh cinta dan menikah 3 tahun kemudian. Prasojo tentu nama belakang Ayahku yang asli Jogja.”
          “Wow keren! Untung kedua orang tuaku tidak ketemu di Bantul dan memberiku nama itu.” Aku terkikik.
          “By the way,  kamu ‘kan memang belum kasih tahu siapa namamu?”
        “Ah, aku lupa. Mungkin terlalu heran mendengar namamu. Namaku Yuni, ya karena kata Kakekku aku lahir bulan Juni.”
        “And? Tidak ada nama belakang Ayahmu?”
         “Tidak. Ayahku entah kemana dan Ibuku meninggal saat melahirkan aku. Begitu cerita Nenekku,” ujarku, berusaha tak menyiratkan nada sedih.
        “Oh sorry…” Sidney terlihat merasa bersalah. “Hmm… baiklah Bubble Tea ini dan cake strawberry-nya aku yang traktir, okey?”
        Aku tertawa. Pertemuan pertama dan dia sudah berbaik hati mentraktir? Dia sudah mendapat poin plus di hatiku.
* * *
        Kami bertemu di Perpustakaan Kota. Kala hujan gerimis, tak begitu deras namun cukup membuat rambut lurusku lusuh dan basah. Kukeringkan rambutku denagn sapu tangan, aku beranjak ke rak dan memilih novel teenlit. Saat itulah aku melihatnya. Dia memegang sebuah novel berjudul Inggris dan duduk tepat di sebelah kananku.
       “Apa yang kamu baca?” bisiknya.
        Aku menunjukkan Dark Love karangan Ken Terate. “Kamu?”
       “The Name of the Rose, Umberto Eco. Novel ini bagus. Kamu ingin membacanya?”
       Aku menggeleng. “Bahasa Inggrisku hanya sekedar hello and thanks.”
       Dia tertawa tanpa suara. “Kamu lucu. Hobimu membaca juga?”
      “Ini perpustakaan, tentu semua orang yang berada disini hobinya membaca.”
        Dia tertawa lagi, kali ini sedikit bersuara. Teguran langsung muncul dari beberapa orang di sekitar kami yang merasa terganggu.
       “Ssttt… kalau ngobrol, di luar saja,” tegur seorang wanita berkacamata tebal.
       “Sorry…” ucapnya pada si penegur. “Kamu punya kartu perpustakaan, kan?” tanyanya kepadaku.
Aku mengangguk. Tentu punya, disini aku bisa membaca dan meminjam gratis. Harga novel dan buku tak cukup ramah untuk kantong mahasiswi beasiswa sepertiku.
        “Kita pinjam aja novel yang sedang kita baca ini, lalu kita ngobrol ke café Eternity. Gimana?”
Aku berpikir sejenak. Sejujurnya tentang uang di dompetku. Apakah cukup untuk makan dan minum ke café? Masak baru pertemuan pertama aku meminta dia mentraktir? Ah, aku teringat kemarin mendapat gaji sebagai Guru Les anak tetanggaku. Cukup untuk ke café, meski setelah itu aku harus makan nasi lauk kangkung selama sebulan.  
       “Baiklah.” Aku mengemasi tas dan jaket. Kami menuju ke meja peminjaman.
        Dia berdiri tepat di samping kananku. Dia cukup tinggi, aku hanya sebahunya. Mungkin aku sudah gila, untuk apa aku ikut dengan pria yang baru kukenal? Tapi dia kan mengajakku ke café, bukan ke tempat yang berbahaya.
         Dan di sinilah kami, menceritakan tentang diri dan keluarga kami seakan kami dua teman yang telah terpisah lama, saling melepas rindu. Meski aku tahu keluarga kami berbeda jauh, kuenyahkan rasa minderku. Setelah ngobrol di café, bertukar nomer handphone, dia menawarkan mengantarku pulang. Tadi kami berjalan kaki dari Perpustakaan ke café, ternyata dia memarkir mobilnya di parkiran underground Perpustakaan.
        Oh, sekarang aku baru minder setelah dia menaiki mobil yang terlihat mewah. Aku merasa bagai upik abu dan ingin menghilang menjadi debu. Tapi dia memaksa mengantarku pulang jadi biarlah dia melihat gubuk dimana aku dan Nenekku tinggal setelah Kakek tiada.
* * *
        Sidney tak berubah sama sekali meski dia telah melihat rumah reyotku. Kami tetap makan bersama, ke Perpustakaan, dia juga membantuku mendapatkan pekerjaan part time di butik milik Mamanya. Sebenarnya aku malu bekerja pada Mamanya, tapi aku tentu butuh uang, meski kuliahku beasiswa tapi untuk membeli buku terkadang harus dari kantong sendiri. Aku juga harus membantu Nenek membiayai hidup kami, uang pensiunan dari Kakek tak seberapa.
        Mamanya seorang wanita yang cantik dan ramah. Dia sangat berkelas. Kalung berlian berkilauan menghiasi leher jenjang putihnya. Di hadapannya aku bagai itik yang sangat buruk rupa dan  dia angsa putih yang sangat menawan. Sidney pernah menceritakan Ayahnya adalah seorang Dosen Bahasa Inggris. Keluarga sempurna, perpaduan antara intelektual dan harga melimpah.
* * *


            Aku mengaduk-aduk tasku. Dompetku tak ada! Aduh, ke mana aku letakkan? Aku berusaha mengingat. Tadi aku yakin pergi dari rumah membawa dompet, kalau tidak mana mungkin aku bisa membayar angkot? Sepulang kuliah, aku pergi ke… ah ya, pasti tertinggal disana!
            “Dompet siapa, Sidney? Sejak kapan kamu hobi memakai dompet wanita?” sindir Mamanya.
            Sidney tertawa. Dipungutnya dompet berwarna merah muda itu. Dilihatnya bagian dalamnya untuk mengetahui si pemilik dompet itu. Ditariknya KTP, meluncurlah sebuah foto ke lantai.
            “Wah ternyata dia lebih tua dariku 4 tahun. Well… well… dia terlihat lebih muda dariku, berarti tampangku yang boros,” Sidney bergunam sendiri.
            “Sidney, foto siapa ini?” Ayahnya datang untuk menjemput Mamanya dari butik. Ternyata Ayahnya memungut sebuah foto yang jatuh dari dompet milik Yuni.
            “Oh, Ayah, tadi foto itu terjatuh dari dompet milik temanku, Yah. Pasti itu foto Ibunya.”
            “Ibunya?” Wajah Ayah Sidney tampak tegang.
            “Ya, sepertinya begitu. Ibunya sudah meninggal sewaktu melahirkannya. Pasti itu fotonya waktu muda. Mungkin Neneknya yang memberikan.”
            “Sidney… apa kamu jatuh cinta dengan temanmu itu?” Suara Ayah Sidney bergetar.
            “Cinta? Aku belum tau, Yah. Tapi aku menyukainya, dia manis, baik dan jujur. Aku…”
            “Jangan! Jangan jatuh cinta padanya!”
            “Kenapa? Ayah aneh sekali hari ini?” Sidney bingung.
            Aku masuk tepat saat kusaksikan Ayah Sidney mengatakan supaya jangan jatuh cinta kepadaku? Dompetku berada di tangan Sidney dan foto Ibuku berada di tangan Ayahnya. Ada apa sebenarnya?
            “Maaf, saya ingin mengambil dompet saya…”
            Ayah Sidney memandang tajam kepadaku. Dia tampak shock. Tiba-tiba dia sudah menghampiriku.
            “Ibumu… siapa nama Ibumu? Dan siapa nama Nenekmu?”
            “Na-nama Ibu saya Marini, kenapa, Pak? Nenek saya Lestari…” ucapku dengan suara bergetar. Ada apa? Aku tak mengerti.
            Ayah Sidney terbelalak. Tatapannya bergantian menatapku dan Sidney tajam. “Kalian tidak boleh saling menyukai!”
            “Kenapa, Yah? Beri aku alasan yang tepat!” Rahang Sidney mengeras.
            Oh, apakah dia menyukaiku lebih dari seorang teman?
            “Karena… Ayah tidak bisa mengatakannya…” Ayah Sidney menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah shock bercampur sedih.
            “Tidak, Ayah harus mengatakan! Kami sudah dewasa!” desak Sidney.
            “Karena… dia… dia Kakakmu, Sidney…” ucap Ayah Sidney lirih.
            Aku terbelalak. Tidak mungkin!
            Sidney terperangah lalu tertawa. “Carilah alasan yang lebih bagus, Ayah. Come on, itu tidak lucu sama sekali!” Dalam hatinya Sidney tahu, Ayahnya tidak akan membuat lelucon yang mengerikan seperti itu.
            “Maafkan saya…” Ayah Sidney menatapku dengan wajah memohon. “Saat Ibumu hamil, saya mendapat beasiswa ke Australia. Itu adalah impian saya. Dan saya memilih meninggalkan Ibumu…”
            “Ayah!” Sidney menggeram penuh amarah.
            “Kamu… tidak pernah cerita tentang itu…” Mama Sidney tahu-tahu berada di belakang kami.
            “Mama!” Sidney menghambur menangkap tubuh Mamanya yang lunglai.
Airmataku mengalir deras tanpa bisa kutahan lagi. Rasanya tanah yang kupijak runtuh. Aku ingin bumi menelanku, sekarang juga!
( Yogyakarta, Kamis 06 Juni 2013 )
* * *
- Dikomentari Mbak Nina, editor Gramedia. Makasihhh ;) 
·         Harus bisa memilih cerita yang ingin disampaikan
·         Misterinya dibuka terlalu mendadak, nggak ada hint yang bikin pembaca merasa terlibat
·         Hati-hati dengan dialog. Dialog untuk memberi info / memperkuat karakter

Teh Hijau Kepala Djenggot

          Dulu aku adalah penggemar soda yang berwarna biruuu. Aku juga suka minum apa saja, kayak teh, kopi, jus, pokoknya minuman yang man...