Friday, November 15, 2013


Gulungan Maaf

 Lidya Renny Chrisnawaty

Shock luar biasa! Itu yang kurasakan saat dari bibir mungil seorang wanita yang selama ini kupanggil kakak itu muncul pengakuan mengejutkan.
“Aku ibumu…” Sepasang bola mata beningnya berlinang.
Aku ternganga, sempat kusangka dia bercanda tapi tak kulihat seulas canda pun di matanya. Aku selalu tahu kalau matanya berkilat nakal, dia pasti sedang mengusiliku. Tapi kali ini kulihat dia tak main-main dengan pernyataannya.
“Maksud kakak?” Bibirku yang serupa bibirnya bergetar.
“Sudah lama ingin kukatakan ini, aku menunggu kau siap, cukup umur untuk menelan rasa pahit.” Air matanya menetes.
“Saat itu… aku melahirkanmu tanpa seorang suami. Jadi Ibu, yang sebenarnya adalah nenekmu menutupi kebenaran bahwa kau adalah anakku, tapi dianggap kau anaknya di depan masyarakat, supaya aku bisa melanjutkan sekolahku.” Terbata-bata dia bercerita.
Mataku berkilat penuh kemarahan, sungguh aku tak tahu apa yang harus kukatakan padanya! Semua perhatian yang berlebihan itu terungkap sudah. Ciumannya yang tak pernah henti mengantarkanku tidur dan berangkat sekolah, baju-baju yang dibelikannya, mainan, semua sebagai skenario kakak yang sempurna ternyata adalah sarana untuk menutupi rasa bersalahnya padaku karena tidak berperan sebagai ibu yang semestinya!
“Aku ingin memohon maafmu…” Terucap dengan pandangan mata yang memelas, mata yang juga serupa mataku.
Bagaimana aku bisa memaafkannya? Belum sirna amarahku atas kelakuannya yang tak bertanggung jawab! Lalu dimana itu pria yang harusnya jadi ayahku? Kabur setelah menaburkan benih di kakak yang adalah ibuku? Airmataku nyaris meleleh namun kutahan,  tidak ingin kuperlihatkan nyeri di hadapannya.
“Arini ingin sendiri sekarang.” Limbung akhirnya kuucapkan itu, tak tahan ingin kuteteskan airmata seorang diri dan berkeluh-kesah pada sunyi.
“Arini…” Wanita berusia 30 tahun itu mengiba, “Ibu… hanya…”
“Tolong, tinggalkan Arini sendiri, sekarang,” Aku menunduk, meremas rok abu-abuku, lambang usia 16 tahunku.
Dia berusaha mengerti, lalu terisak menutup pintu kamarku yang bercat cokelat. Aku membanting tubuhku di ranjang lalu terisak. Bagaimana aku bisa menerima ini? Belasan tahun lamanya kupanggil dia kakak. Kakak yang sangat kusayangi, yang cantik dan lemah lembut tingkah lakunya. Yang kubanggakan karena dia seorang dokter yang hebat. Ternyata dia tega membagi laranya selama ini kepadaku. Oh, tak ingin kuketahui kebenaran kalau sakitnya sungguh tak berperi. Ribuan jarum menusuk hati yang selama ini penuh kasih sayang.
Telah kuketahui dari internet berbahayanya free seks itu. Berawal dari kenikmatan sesaat namun berakhir dengan derita tak berujung jika tidak berawal dari mahligai pernikahan. Aku berusaha menghindari itu namun tak kusangka bahwa akulah korban dari semua itu. Anak tanpa ayah!
Tidak! Dia bukan ibuku! Tidak pernah akan kuakui dia ibuku! Apa kata teman-temanku? Apa kata masyarakat? Ah, namun aku sungguh tak berhak menghakiminya, menyalahkannya atas masa lalu yang tidak bisa dia ulang lagi. Itu bisa terjadi pada siapa saja, bahkan padaku.
Dua orang yang kucintai hidup dengan kebohongan. Nenek yang selama ini kupanggil Ibu, dan kakak yang kupuja sebagai seorang kakak sempurna. Aku tahu, kesempurnaan bukan milik dunia ini namun sungguh aku susah menerima bahwa keluarga kami selama ini dibangun dari pilar kebohongan.
“Nenek yang meminta, bukan Ibumu.” Sekarang Ibu menyebut dirinya sendiri Nenek, terasa canggung terucap dari bibirnya. “Waktu itu Nenek tentu saja amat marah waktu Cintia hamil. Dia anak perempuan satu-satunya, kebanggaan kami, yang cantik dan cerdas, bermasa depan gemilang. Tapi Cintia tidak ingin melakukan kesalahan kedua dengan mengugurkan kandungannya.”
Aku tercekat. Menggugurkan berarti aku tak diinginkan. Perih saat kupikirkan andai solusi itu terjadi. Akan jadi apakah aku? Janin yang dimusnahkan sebelum menghirup nafas dunia, adakah tempat bagiku di Surga?
Nenek terisak, “Berusaha kutegarkan hati, dan kukatakan pergilah ke tempat Om Jaka di Singapura, melahirkan disana dan anak itu akan kuaku sebagai anakku supaya kau bisa melanjutkan sekolah dan kuliahmu. Kupastikan Om Jaka akan menjaga rahasia ini. Cintia menurut. Dan dia berhasil mencapai impiannya menjadi seorang dokter. Ah, Arini, maafkanlah ibumu. Dia sudah cukup menderita.”
Maaf? Mudahkah kata itu terucap? Mudahkah melupakan rasa sakit itu? Aku tidak tahu. Mungkin bisa kupintal doa sehingga tercipta gulungan maaf yang bisa kupersembahkan kepada Ibuku kelak. Mungkin… suatu hari nanti…
Ditulis               : 30 Juli 2009
Dikirim             : 30 Juli 2009
Dimuat di Koran Minggu Pagi : No. 20 TH 62/Minggu III 14 Agustus 2009

Teh Hijau Kepala Djenggot

          Dulu aku adalah penggemar soda yang berwarna biruuu. Aku juga suka minum apa saja, kayak teh, kopi, jus, pokoknya minuman yang man...