Gulungan Maaf
Lidya Renny Chrisnawaty
Shock luar biasa! Itu yang kurasakan saat dari bibir
mungil seorang wanita yang selama ini kupanggil kakak itu muncul pengakuan
mengejutkan.
“Aku ibumu…” Sepasang bola mata beningnya berlinang.
Aku ternganga, sempat kusangka dia bercanda tapi tak
kulihat seulas canda pun di matanya. Aku selalu tahu kalau matanya berkilat
nakal, dia pasti sedang mengusiliku. Tapi kali ini kulihat dia tak main-main
dengan pernyataannya.
“Maksud kakak?” Bibirku yang serupa bibirnya bergetar.
“Sudah lama ingin kukatakan ini, aku menunggu kau
siap, cukup umur untuk menelan rasa pahit.” Air matanya menetes.
“Saat itu… aku melahirkanmu tanpa seorang suami. Jadi
Ibu, yang sebenarnya adalah nenekmu menutupi kebenaran bahwa kau adalah anakku,
tapi dianggap kau anaknya di depan masyarakat, supaya aku bisa melanjutkan
sekolahku.” Terbata-bata dia bercerita.
Mataku berkilat penuh kemarahan, sungguh aku tak tahu
apa yang harus kukatakan padanya! Semua perhatian yang berlebihan itu terungkap
sudah. Ciumannya yang tak pernah henti mengantarkanku tidur dan berangkat
sekolah, baju-baju yang dibelikannya, mainan, semua sebagai skenario kakak yang
sempurna ternyata adalah sarana untuk menutupi rasa bersalahnya padaku karena
tidak berperan sebagai ibu yang semestinya!
“Aku ingin memohon maafmu…” Terucap dengan pandangan
mata yang memelas, mata yang juga serupa mataku.
Bagaimana aku bisa memaafkannya? Belum sirna amarahku
atas kelakuannya yang tak bertanggung jawab! Lalu dimana itu pria yang harusnya
jadi ayahku? Kabur setelah menaburkan benih di kakak yang adalah ibuku? Airmataku
nyaris meleleh namun kutahan, tidak
ingin kuperlihatkan nyeri di hadapannya.
“Arini ingin sendiri sekarang.” Limbung akhirnya
kuucapkan itu, tak tahan ingin kuteteskan airmata seorang diri dan
berkeluh-kesah pada sunyi.
“Arini…” Wanita berusia 30 tahun itu mengiba, “Ibu…
hanya…”
“Tolong, tinggalkan Arini sendiri, sekarang,” Aku
menunduk, meremas rok abu-abuku, lambang usia 16 tahunku.
Dia berusaha mengerti, lalu terisak menutup pintu
kamarku yang bercat cokelat. Aku membanting tubuhku di ranjang lalu terisak. Bagaimana
aku bisa menerima ini? Belasan tahun lamanya kupanggil dia kakak. Kakak yang
sangat kusayangi, yang cantik dan lemah lembut tingkah lakunya. Yang
kubanggakan karena dia seorang dokter yang hebat. Ternyata dia tega membagi
laranya selama ini kepadaku. Oh, tak ingin kuketahui kebenaran kalau sakitnya
sungguh tak berperi. Ribuan jarum menusuk hati yang selama ini penuh kasih
sayang.
Telah kuketahui dari internet berbahayanya free seks itu. Berawal dari kenikmatan
sesaat namun berakhir dengan derita tak berujung jika tidak berawal dari
mahligai pernikahan. Aku berusaha menghindari itu namun tak kusangka bahwa
akulah korban dari semua itu. Anak tanpa ayah!
Tidak! Dia bukan ibuku! Tidak pernah akan kuakui dia
ibuku! Apa kata teman-temanku? Apa kata masyarakat? Ah, namun aku sungguh tak
berhak menghakiminya, menyalahkannya atas masa lalu yang tidak bisa dia ulang
lagi. Itu bisa terjadi pada siapa saja, bahkan padaku.
Dua orang yang kucintai hidup dengan kebohongan. Nenek
yang selama ini kupanggil Ibu, dan kakak yang kupuja sebagai seorang kakak
sempurna. Aku tahu, kesempurnaan bukan milik dunia ini namun sungguh aku susah
menerima bahwa keluarga kami selama ini dibangun dari pilar kebohongan.
“Nenek yang meminta, bukan Ibumu.” Sekarang Ibu
menyebut dirinya sendiri Nenek, terasa canggung terucap dari bibirnya. “Waktu
itu Nenek tentu saja amat marah waktu Cintia hamil. Dia anak perempuan
satu-satunya, kebanggaan kami, yang cantik dan cerdas, bermasa depan gemilang. Tapi
Cintia tidak ingin melakukan kesalahan kedua dengan mengugurkan kandungannya.”
Aku tercekat. Menggugurkan berarti aku tak diinginkan.
Perih saat kupikirkan andai solusi itu terjadi. Akan jadi apakah aku? Janin
yang dimusnahkan sebelum menghirup nafas dunia, adakah tempat bagiku di Surga?
Nenek terisak, “Berusaha kutegarkan hati, dan
kukatakan pergilah ke tempat Om Jaka di Singapura, melahirkan disana dan anak
itu akan kuaku sebagai anakku supaya kau bisa melanjutkan sekolah dan kuliahmu.
Kupastikan Om Jaka akan menjaga rahasia ini. Cintia menurut. Dan dia berhasil
mencapai impiannya menjadi seorang dokter. Ah, Arini, maafkanlah ibumu. Dia
sudah cukup menderita.”
Maaf? Mudahkah kata itu terucap? Mudahkah melupakan
rasa sakit itu? Aku tidak tahu. Mungkin bisa kupintal doa sehingga tercipta gulungan
maaf yang bisa kupersembahkan kepada Ibuku kelak. Mungkin… suatu hari nanti…
Ditulis : 30 Juli 2009
Dikirim : 30 Juli
2009
Dimuat di Koran Minggu Pagi : No. 20 TH 62/Minggu III 14 Agustus 2009