Memilih Nasib
Oleh
: Lidya Renny Chrisnawaty
Waktu kecil, aku
menemukan dua buah kotak. Satu berwarna hitam dan satunya berwarna emas.
Keduanya tergeletak di sudut dapur yang kotor, nyaris tak pernah tersentuh.
Kutiup sehingga debunya membuatku terbatuk. Dengan penasaran yang membuncah aku
membukanya, lalu tertawa kegirangan. Ternyata kotak warna hitam berisi sebuah
pistol, aku memainkannya sejenak lalu meletakkannya di lantai. Menatap kotak
berwarna emas, menimangnya sejenak lalu membukanya, berharap menemukan sesuatu
yang lebih menyenangkan. Kotak itu berisi lipstik warna merah marun, aku tak tahu
apa kegunaan benda itu. Hanya menggores-goreskannya di lantai. Aku memutuskan
menyimpan kedua benda itu di kamarku.
Beranjak remaja, aku
mulai menyadari, aku tak suka kekerasan. Selalu kalah saat diajak berkelahi,
menangis saat dipukuli, tak berdaya melawan. Aku pun anak yang cengeng bila
berebut permen dan mainan. Mereka selalu mengejekku, “Banci… banci…” Aku tak
tahu apa itu.
Suatu hari aku terisak
di depan cermin, menatap wajahku. Lembut, tidak seperti lelaki. Tiba-tiba aku
teringat kedua benda yang kutemukan waktu kecil. Kuambil di bawah kolong kasur,
menimang pistol itu, ah tak cocok di tanganku. Mengambil lipstik itu,
mengoleskannya di bibir. Aku tercengang, aku terlihat cantik!
Sejak itu aku mulai
suka memoles bibir dengan pewarna palsu itu, serupa warna darah. Berkostum
ketat layaknya seorang wanita penggoda. Sering kutemukan tatapan mencemooh
maupun bibir mencibir. Tak kupedulikan, telah kupilih isi kotak berwarna emas.
Malam senantiasa
menyimpan rahasia di balik tudung kelamnya, mampukah dia menerka juga rahasia
hatiku? Terus terang, siapa saja tak mau dilahirkan begini. Sejak aku memilih
jalanku, keluarga membenciku. Daripada hidup bagaikan domba di tengah serigala,
aku memilih pergi. Bergabung dengan teman senasib. Hidup bagaikan vampire,
siang terlelap dan malam bergerilya mencari mangsa demi selembar rupiah untuk
bertahan hidup.
“Dapat berapa nasabah
semalam?” Sania, waria bertubuh besar itu menghembuskan asap putih, menari-nari
di atas langit yang kelam.
Aku hanya mengerdikkan
bahu. Malam mulai merangkak semakin pekat. Sunyi mengepung keberadaan kami,
para waria yang mangkal di pojokkan gedung tua. Di bawah lampu temaram, sayup-sayup
kunang-kunang kecil menari-nari membuatku ingin bermimpi untuk sekejap. Andai
saja semua berjalan normal kembali, apakah aku akan bahagia? Mungkin akan
kupilih istri sesexy Julia Peres atau secantik Mulan Jameela. Namun telah
kupilih nasib ini, berputar ke kiri saat dunia berputar ke kanan. Menentang
arus. Membantah bahwa di dunia ini hanya ada dua jenis manusia, lelaki dan
perempuan. Aku adalah jenis ketiga yang akan bertahan hidup dengan cara seperti
ini.
Hari ini aku ingin
menatap cahaya. Terbangun siang, tidak malam hari seperti biasanya. Hiruk pikuk
berbagai kendaraan tak henti-hentinya melawan waktu, mengejar sore, untuk
berpulang ke tempat berteduh yang nyaman. Matahari sore makin menyemburatkan
cahaya keemasannya namun angin sejuk bertiup sepoi, membuatku sedikit
mengantuk, tapi diri ini tak ingin tertidur.
Bapak. Ibu. Jika caraku
mencintai diri sendiri ini salah, aku minta maaf. Maaf, saat itu tak kupilih pistol dan menjadi
lelaki sejati seperti Bapak. Lelaki yang pandai meluncurkan timah panas,
berlomba dengan angin untuk menjemput nyawa. Bapakku berteman dengan malaikat
maut, demi segepok uang, supaya aku dan Ibuku bisa menyuap bibir dengan makanan
setiap hari. Namun aku memilih berkawan dengan dosa yang lain. Dan aku tidak
menyesalinya.
Ditulis :
15 September 2009
Dikirim : 15 September 2009
Dimuat di Koran
Minggu Pagi : No. 25 Th 63/ Minggu IV 25
September 2009