Friday, November 15, 2013



Memilih Nasib

Oleh : Lidya Renny Chrisnawaty

Waktu kecil, aku menemukan dua buah kotak. Satu berwarna hitam dan satunya berwarna emas. Keduanya tergeletak di sudut dapur yang kotor, nyaris tak pernah tersentuh. Kutiup sehingga debunya membuatku terbatuk. Dengan penasaran yang membuncah aku membukanya, lalu tertawa kegirangan. Ternyata kotak warna hitam berisi sebuah pistol, aku memainkannya sejenak lalu meletakkannya di lantai. Menatap kotak berwarna emas, menimangnya sejenak lalu membukanya, berharap menemukan sesuatu yang lebih menyenangkan. Kotak itu berisi lipstik warna merah marun, aku tak tahu apa kegunaan benda itu. Hanya menggores-goreskannya di lantai. Aku memutuskan menyimpan kedua benda itu di kamarku.
Beranjak remaja, aku mulai menyadari, aku tak suka kekerasan. Selalu kalah saat diajak berkelahi, menangis saat dipukuli, tak berdaya melawan. Aku pun anak yang cengeng bila berebut permen dan mainan. Mereka selalu mengejekku, “Banci… banci…” Aku tak tahu apa itu.
Suatu hari aku terisak di depan cermin, menatap wajahku. Lembut, tidak seperti lelaki. Tiba-tiba aku teringat kedua benda yang kutemukan waktu kecil. Kuambil di bawah kolong kasur, menimang pistol itu, ah tak cocok di tanganku. Mengambil lipstik itu, mengoleskannya di bibir. Aku tercengang, aku terlihat cantik!
Sejak itu aku mulai suka memoles bibir dengan pewarna palsu itu, serupa warna darah. Berkostum ketat layaknya seorang wanita penggoda. Sering kutemukan tatapan mencemooh maupun bibir mencibir. Tak kupedulikan, telah kupilih isi kotak berwarna emas.
Malam senantiasa menyimpan rahasia di balik tudung kelamnya, mampukah dia menerka juga rahasia hatiku? Terus terang, siapa saja tak mau dilahirkan begini. Sejak aku memilih jalanku, keluarga membenciku. Daripada hidup bagaikan domba di tengah serigala, aku memilih pergi. Bergabung dengan teman senasib. Hidup bagaikan vampire, siang terlelap dan malam bergerilya mencari mangsa demi selembar rupiah untuk bertahan hidup.
“Dapat berapa nasabah semalam?” Sania, waria bertubuh besar itu menghembuskan asap putih, menari-nari di atas langit yang kelam.
Aku hanya mengerdikkan bahu. Malam mulai merangkak semakin pekat. Sunyi mengepung keberadaan kami, para waria yang mangkal di pojokkan gedung tua. Di bawah lampu temaram, sayup-sayup kunang-kunang kecil menari-nari membuatku ingin bermimpi untuk sekejap. Andai saja semua berjalan normal kembali, apakah aku akan bahagia? Mungkin akan kupilih istri sesexy Julia Peres atau secantik Mulan Jameela. Namun telah kupilih nasib ini, berputar ke kiri saat dunia berputar ke kanan. Menentang arus. Membantah bahwa di dunia ini hanya ada dua jenis manusia, lelaki dan perempuan. Aku adalah jenis ketiga yang akan bertahan hidup dengan cara seperti ini.
Hari ini aku ingin menatap cahaya. Terbangun siang, tidak malam hari seperti biasanya. Hiruk pikuk berbagai kendaraan tak henti-hentinya melawan waktu, mengejar sore, untuk berpulang ke tempat berteduh yang nyaman. Matahari sore makin menyemburatkan cahaya keemasannya namun angin sejuk bertiup sepoi, membuatku sedikit mengantuk, tapi diri ini tak ingin tertidur.
Bapak. Ibu. Jika caraku mencintai diri sendiri ini salah, aku minta maaf.  Maaf, saat itu tak kupilih pistol dan menjadi lelaki sejati seperti Bapak. Lelaki yang pandai meluncurkan timah panas, berlomba dengan angin untuk menjemput nyawa. Bapakku berteman dengan malaikat maut, demi segepok uang, supaya aku dan Ibuku bisa menyuap bibir dengan makanan setiap hari. Namun aku memilih berkawan dengan dosa yang lain. Dan aku tidak menyesalinya.
Ditulis               : 15 September 2009
Dikirim             : 15 September 2009
Dimuat di Koran Minggu Pagi   : No. 25 Th 63/ Minggu IV 25 September 2009


Teh Hijau Kepala Djenggot

          Dulu aku adalah penggemar soda yang berwarna biruuu. Aku juga suka minum apa saja, kayak teh, kopi, jus, pokoknya minuman yang man...