Pucuk
Cemara
Cerma: Lidya
Renny Chrisnawaty
“Kenapa cemara itu kamu
tebang?” protes Kakek.
“Buat hiasan, Kek.”
“Tak akan indah lagi
kalau kamu tebang..” Aku menatap sekilas wajah beliau, tampak menyiratkan kesedihan.
“Nanti akan tumbuh
lagi, Kek. Lebih bagus, lebih indah dari yang sudah-sudah.”
“Tidak… yang lama lebih
indah. Biarkan saja disitu.” Kakek merengek. Kuhentikan gerakan gergaji. Aku
menyerah, melihat ketidak-relaan dan pancaran kehilangan di wajah kakek. Aku
berdiri, menatap bola mata itu, lama.
“Kenapa, Kek?”
Pertanyaan singkat disertai rasa penasaran itu tak kusangka akan membuat bola
mata itu berkaca-kaca.
“Nenekmu yang menanam
cemara itu. Kakek merasa Nenekmu masih hidup dalam sosok cemara itu. Jangan sekali-kali
kau tebang cemara itu.” Tatapan mata itu berubah menjadi ancaman.
Aku terpanjat.
Kuputuskan tidak mendebatnya. Aku akan membeli saja daripada menebang cemara
itu. Tidak ada gunanya menolak permintaan orang yang sudah tua. Sejak nenek
meninggal setahun lalu, kakek memang terlihat pendiam. Sesekali menggunam
sendirian. Dan memang cemara itu sangat disayangi. Setiap pagi dan sore,
disiramnya tanpa pernah lupa. Dan setiap pagi kakek akan memutar kursi rodanya
ke hadapan cemara itu.
Ah, rasa kehilangan
memang membuat orang menjadi sering berkhayal dan terlepas dari kenyataan.
Nenekku memang sosok yang baik, kami semua sangat kehilangan beliau saat nenek
menghembuskan nafas terakhirnya, karena diabetes kronis. Kakek sempat kumat
jantungnya saat menyaksikan istrinya perlahan mengatupkan mata. Seakan jiwanya
ikut tercabut dari tubuhnya. Kami semua berusaha menghiburnya.
Usia nenek 75 tahun,
tidak kuat menanggung derita penyakit itu. Semua memang sudah digariskan Yang
Di Atas. Kakek terlihat mengerti dan mulai tenang. Meski berminggu-minggu kemudian
kakek terlihat pendiam. Kami semua berusaha selalu menemaninya, mengajak mengobrol
supaya kakek tidak kesepian. Meski papa dan mama sibuk di perusahaan tekstil
mereka, sedang aku sibuk menyelesaikan skripsi. Kami selalu berusaha
menyediakan waktu untuk kakek.
“Nenekmu itu sosok
wanita sempurna di mata kakek,” katanya suatu kali, saat kami sedang duduk di
teras.
Rintik hujan perlahan
turun, aku mengajak masuk agar tidak kedinginan, tapi kakek menolak.
“Nenekmu suka melihat
hujan. Katanya berkah dari langit.”
“Ya, Kek. Tapi nanti
kakek kedinginan. Hujan mulai deras. Kita menatap hujan dari balik jendela
ruang tamu saja ya,” ajakku berusaha sabar menghiburnya.Kuraih tangannya, tapi
kakek menepiskannya.
“Kakek pengen disini
sebentar saja. Tolong ambilin sweater di
kamar.”
Kulihat memang dia
sedikit menggigil. Tapi kakek bersikeras duduk di teras. Kuperhatikan arah
pandangannya. Dia memandang cemara penuh keteduhan dan sesekali tersenyum. Aku
masuk, mengambil sweater wol biru yang sudah sobek lengan kirinya.
“Nenekmu yang
merajutkan ini buat kakek.” Kakek menggeleng saat kutawarkan sweater baru. Ah,
aku mengerti, barang sudah sejelek apapun kalau pemberian dari seseorang yang
disayang akan menjadi barang berharga, laksana harta karun bagi perompak.
Minggu pagi, bangun
tidur, langsung menuju ke teras, menghirup udara pagi. Kakek sudah bangun. Aku
melihat kakek di depan cemara itu. Duduk tenang dengan kursi rodanya.
Kuperhatikan, ada sesuatu yang aneh, memaksaku melangkah mendekat. Setiap derap
langkahku penuh getaran aneh. Jantungku
berdegup keras.
“Kek?” Suaraku bergetar
saat memanggilnya. Dingin menyergap seluruh tubuhku saat menyentuh tubuhnya.
Aku terperanjat mundur.
“Kakek?” Aku mendekat,
bersimpuh di bawah kursi rodanya, wajahnya terlihat tenang. Kakek tersenyum,
dan tangannya telah kaku menyentuh pucuk daun cemara itu. Kuraba nadinya. Tidak
ada denyutan. Aku bergetar. Kakek telah pergi….
Kutoleh cemara yang tidak begitu tinggi itu,
terlihat teduh. Entah… mungkin aku masih mengantuk sehingga penuh khayalan. Kulihat
sosok nenekku tersenyum, dan pucuk cemara yang dipegang kakek, tangan nenek.
Ah, kini mereka telah bersama dalam keabadian.
Airmata menetes, bukan
karena sedih dan kehilangan. Namun terharu, dengan ketulusan cinta mereka.
Sampai maut memisahkan dan kini menyatukan, mereka tetap bergandengan tangan.
Apakah aku akan memiliki kisah cinta seindah itu bersama Riska, kekasihku? ( Yogyakarta, Senin, 11 Agustus 2008 )
Ditulis : Senin,
11 Agustus 2008
Dikirim : Selasa, 12 Agustus 2008
Dimuat Koran Minggu Pagi : No. 21 Th 61 Minggu IV, Jumat,
22 Agustus 2008