Friday, November 15, 2013



Pucuk Cemara

Cerma: Lidya Renny Chrisnawaty

“Kenapa cemara itu kamu tebang?” protes Kakek.
“Buat hiasan, Kek.”
“Tak akan indah lagi kalau kamu tebang..” Aku menatap sekilas wajah beliau, tampak menyiratkan kesedihan.
“Nanti akan tumbuh lagi, Kek. Lebih bagus, lebih indah dari yang sudah-sudah.”
“Tidak… yang lama lebih indah. Biarkan saja disitu.” Kakek merengek. Kuhentikan gerakan gergaji. Aku menyerah, melihat ketidak-relaan dan pancaran kehilangan di wajah kakek. Aku berdiri, menatap bola mata itu, lama.
“Kenapa, Kek?” Pertanyaan singkat disertai rasa penasaran itu tak kusangka akan membuat bola mata itu  berkaca-kaca.
“Nenekmu yang menanam cemara itu. Kakek merasa Nenekmu masih hidup dalam sosok cemara itu. Jangan sekali-kali kau tebang cemara itu.” Tatapan mata itu berubah menjadi ancaman.
Aku terpanjat. Kuputuskan tidak mendebatnya. Aku akan membeli saja daripada menebang cemara itu. Tidak ada gunanya menolak permintaan orang yang sudah tua. Sejak nenek meninggal setahun lalu, kakek memang terlihat pendiam. Sesekali menggunam sendirian. Dan memang cemara itu sangat disayangi. Setiap pagi dan sore, disiramnya tanpa pernah lupa. Dan setiap pagi kakek akan memutar kursi rodanya ke hadapan cemara itu.
Ah, rasa kehilangan memang membuat orang menjadi sering berkhayal dan terlepas dari kenyataan. Nenekku memang sosok yang baik, kami semua sangat kehilangan beliau saat nenek menghembuskan nafas terakhirnya, karena diabetes kronis. Kakek sempat kumat jantungnya saat menyaksikan istrinya perlahan mengatupkan mata. Seakan jiwanya ikut tercabut dari tubuhnya. Kami semua berusaha menghiburnya.
Usia nenek 75 tahun, tidak kuat menanggung derita penyakit itu. Semua memang sudah digariskan Yang Di Atas. Kakek terlihat mengerti dan  mulai tenang. Meski berminggu-minggu kemudian kakek terlihat pendiam. Kami semua berusaha selalu menemaninya, mengajak mengobrol supaya kakek tidak kesepian. Meski papa dan mama sibuk di perusahaan tekstil mereka, sedang aku sibuk menyelesaikan skripsi. Kami selalu berusaha menyediakan waktu untuk kakek.
“Nenekmu itu sosok wanita sempurna di mata kakek,” katanya suatu kali, saat kami sedang duduk di teras.
Rintik hujan perlahan turun, aku mengajak masuk agar tidak kedinginan, tapi kakek menolak.
“Nenekmu suka melihat hujan. Katanya berkah dari langit.”
“Ya, Kek. Tapi nanti kakek kedinginan. Hujan mulai deras. Kita menatap hujan dari balik jendela ruang tamu saja ya,” ajakku berusaha sabar menghiburnya.Kuraih tangannya, tapi kakek menepiskannya.
“Kakek pengen disini sebentar saja. Tolong ambilin sweater  di kamar.”
Kulihat memang dia sedikit menggigil. Tapi kakek bersikeras duduk di teras. Kuperhatikan arah pandangannya. Dia memandang cemara penuh keteduhan dan sesekali tersenyum. Aku masuk, mengambil sweater wol biru yang sudah sobek lengan kirinya.
“Nenekmu yang merajutkan ini buat kakek.” Kakek menggeleng saat kutawarkan sweater baru. Ah, aku mengerti, barang sudah sejelek apapun kalau pemberian dari seseorang yang disayang akan menjadi barang berharga, laksana harta karun bagi perompak.
Minggu pagi, bangun tidur, langsung menuju ke teras, menghirup udara pagi. Kakek sudah bangun. Aku melihat kakek di depan cemara itu. Duduk tenang dengan kursi rodanya. Kuperhatikan, ada sesuatu yang aneh, memaksaku melangkah mendekat. Setiap derap langkahku penuh getaran aneh.  Jantungku berdegup keras.
“Kek?” Suaraku bergetar saat memanggilnya. Dingin menyergap seluruh tubuhku saat menyentuh tubuhnya. Aku terperanjat mundur.
“Kakek?” Aku mendekat, bersimpuh di bawah kursi rodanya, wajahnya terlihat tenang. Kakek tersenyum, dan tangannya telah kaku menyentuh pucuk daun cemara itu. Kuraba nadinya. Tidak ada denyutan. Aku bergetar. Kakek telah pergi….
 Kutoleh cemara yang tidak begitu tinggi itu, terlihat teduh. Entah… mungkin aku masih mengantuk sehingga penuh khayalan. Kulihat sosok nenekku tersenyum, dan pucuk cemara yang dipegang kakek, tangan nenek. Ah, kini mereka telah bersama dalam keabadian.
Airmata menetes, bukan karena sedih dan kehilangan. Namun terharu, dengan ketulusan cinta mereka. Sampai maut memisahkan dan kini menyatukan, mereka tetap bergandengan tangan. Apakah aku akan memiliki kisah cinta seindah itu bersama Riska, kekasihku? ( Yogyakarta, Senin, 11 Agustus 2008 )

Ditulis               : Senin, 11 Agustus 2008
Dikirim             :  Selasa, 12 Agustus 2008
Dimuat Koran Minggu Pagi       :  No. 21 Th 61 Minggu IV, Jumat, 22 Agustus 2008

Teh Hijau Kepala Djenggot

          Dulu aku adalah penggemar soda yang berwarna biruuu. Aku juga suka minum apa saja, kayak teh, kopi, jus, pokoknya minuman yang man...