Tak
Ingin Pulang
Lidya
Renny Chrisnawaty
Saskia tak ingin
pulang. Sudah dua hari, bergelut dengan dinginnya udara Taman Kota. Tidur
beralaskan koran bekas penuh berita kriminal yang cukup membuatnya takut
menghadapi hari-hari tanpa teduhnya atap rumah. Tapi dia terpaksa pergi setelah
kedua orang tuanya tidak pernah menganggapnya sama sekali. Hanya selalu memuji
adiknya. Dita yang cantik, selalu mendapat ranking satu di sekolahnya. Pandai
mengambil hati orang tua, kebanggaan keluarga yang selalu dipamerkan pada saat
acara di rumah mereka yang megah.
Saskia sudah cukup
kenyang dengan segala cemoohan. Perlakuan berbeda dari kedua orang tuanya,
ketidakadilan sudah menghinggapinya sejak adiknya yang cantik dan putih terlahir.
Dia disingkirkan karena sebagai anak pertama dia tak seberapa cantik. Kulitnya sawo
matang, meski Papa dan Mamanya seputih salju.
Saskia sungguh tak
ingin pulang, karena di rumah dia hanya bagaikan anak tiri. Apakah dia bukan
anak kandung mereka? Mungkinkah dia ditemukan dari dalam kotak kardus mie
instant yang diletakkan di depan pintu jati rumahnya? Ataukah dia berasal dari
dalam dari botol kecil yang terapung-apung di lautan, nyaris tertelan ikan paus
biru?
Lapar. Minggat dari
rumah tanpa persiapan. Hanya sempat membawa sisa uang sakunya yang tak seberapa
jumlahnya. Sudah dihabiskannya untuk membeli dua buah roti cokelat dan dua
botol air mineral botol tanggung. Sekarang plastik dan botol kosong itu telah
tergeletak tak berdaya di pinggiran kursi taman tempatnya menghabiskan hari.
Perut melilit tak mau
peduli keadaan kantongnya. Perihnya memang tak seperih luka di hatinya selama
bertahun-tahun. Tapi cukup membuatnya gelisah tak menentu, hingga malam itu gadis
berumur dua belas tahun itu tak mampu memicingkan mata. Juga memaksanya pagi
itu mengiba. Mengemis belas kasihan dari orang-orang di jalanan.
Sudah sepuluh lampu
merah terlewati, namun dia tidak mendapat sekeping receh pun. Wajahnya kusam,
berdebu, keringatan, dan bibirnya merengut. Dia menopang dagu, duduk di
pinggiran trotoar. Mengamati berbagai kendaraan yang tak pernah berhenti
melintas. Mobil, motor, becak, apa kau tak bosan setiap hari bergelut dengan
terik siang hari dan dinginnya malam?
Lampu merah ke-sebelas,
Saskia terlonjak berdiri. Sebuah mobil Honda Jazz berwarna biru berhenti, Saskia
mendekat dan menadahkan tangannya.
“Om, minta uang. Buat
beli makan…”
Kaca jendela mobil yang
mengkilap terbuka. Seorang pria berkumis mengulurkan tangan hendak memberinya
recehan tapi wanita cantik berkalungkan emas di sebelahnya mencegahnya.
“Kenapa?” tanya pria
berkumis itu heran, “kan kasihan anak kecil itu. Dia kelaparan dan bajunya
kumal.”
“Lihat telinganya, dia
pengemis tapi beranting emas. Dia hanya malas bersekolah. Tidak usah diberi.”
Saskia tersentak. Reflek
dia memegang kedua telinganya. Pantas, dia tidak mendapat uang sedari tadi. Ada
anting emas di kedua telinganya! Dia cabut kedua anting emas itu dan
membuangnya ke jalanan. Mengiba dengan lebih memelas, kali ini memang dengan
kelaparan yang amat sangat. Kehausan yang membuat bibirnya kering dan
pecah-pecah.
Cring! Bola mata
mungilnya berbinar, sekeping uang lima ratus rupiah bergambar bunga melati
mampir di telapak tangannya. Nah kan? Gara-gara
anting itu aku tidak mendapat uang. Dalam lima lampu merah berikutnya, dia
memperoleh berkeping-keping seratus dan lima ratus rupiah, cukup untuk membeli sebungkus
roti berlapis cokelat dan sebotol air mineral. Dia tak mengerti, andai saja dia
cukup pandai untuk menyadari, anting emasnya itu cukup untuk membeli beberapa
dus besar roti cokelat kesukaannya.
Menatap kulitnya yang
makin menghitam terkena panas terik Sang Surya, kaos kumal dan kotor, tak ada yang mengira dulunya dia adalah anak seorang
pejabat yang istrinya punya affair dengan sopirnya yang berkulit gelap saat
ditinggal dinas keluar negeri. Sang Tuan rumah tak curiga meski dia berkulit
putih dan anak pertamanya berkulit gelap. Dia hanya mengharapkan kesempurnaan
dari anaknya, saat tak mendapatkannya, dampratan yang dia hadiahkan kepada
Saskia.
Saskia berkawan karib
dengan jalanan sekarang, tak diharapkan orang tuanya. Andai saja dia bisa
bermental kuat, dia bisa tetap bersekolah, tidak menenelusuri jalanan seperti
ini. Entah sampai kapan…
Lampu merah kedua belas
berhenti. Saskia beranjak mendekat. Dia makin pandai memainkan airmukanya. Mata
sendu, suara lirih mengiba, tangan kanan menengadah, tangan kiri memegangi
perut.
“Lapar, Om.”
Pintu kaca mobil
terbuka, seorang pria berkulit gelap melongok, menatap sejenak gadis kecil itu.
Mungkin ditemukannya pancaran sinar yang sama di bola mata memelas itu dengan
sosok yang dia kenal. Diulurkannya dua keping lima ratusan.
“Terima kasih, Om.” Gadis
kecil itu mengangguk.
Bocah itu cukup tahu
sopan santun, batin pria itu. Lampu hijau menyala, klakson-klakson menjerit
nyaring. Pria itu menjalankan mobil, meninggalkan gadis itu yang terpaku di
trotoar. Dia sudah ditunggu bosnya untuk suatu urusan penting. Sejenak
ditengoknya kembali bocah itu. Hatinya berdesir oleh perasaan aneh, entah apa
itu.
* * *
Ditulis :
15
September 2009
Dikirim : 21 September 2009
Dikirim : 21 September 2009
Dimuat Koran
Minggu Pagi : No. 28 Th 62 Minggu II 09
Oktober 2009