Friday, November 15, 2013


Tak Ingin Pulang

Lidya Renny Chrisnawaty

Saskia tak ingin pulang. Sudah dua hari, bergelut dengan dinginnya udara Taman Kota. Tidur beralaskan koran bekas penuh berita kriminal yang cukup membuatnya takut menghadapi hari-hari tanpa teduhnya atap rumah. Tapi dia terpaksa pergi setelah kedua orang tuanya tidak pernah menganggapnya sama sekali. Hanya selalu memuji adiknya. Dita yang cantik, selalu mendapat ranking satu di sekolahnya. Pandai mengambil hati orang tua, kebanggaan keluarga yang selalu dipamerkan pada saat acara di rumah mereka yang megah.
Saskia sudah cukup kenyang dengan segala cemoohan. Perlakuan berbeda dari kedua orang tuanya, ketidakadilan sudah menghinggapinya sejak adiknya yang cantik dan putih terlahir. Dia disingkirkan karena sebagai anak pertama dia tak seberapa cantik. Kulitnya sawo matang, meski Papa dan Mamanya seputih salju.
Saskia sungguh tak ingin pulang, karena di rumah dia hanya bagaikan anak tiri. Apakah dia bukan anak kandung mereka? Mungkinkah dia ditemukan dari dalam kotak kardus mie instant yang diletakkan di depan pintu jati rumahnya? Ataukah dia berasal dari dalam dari botol kecil yang terapung-apung di lautan, nyaris tertelan ikan paus biru?
Lapar. Minggat dari rumah tanpa persiapan. Hanya sempat membawa sisa uang sakunya yang tak seberapa jumlahnya. Sudah dihabiskannya untuk membeli dua buah roti cokelat dan dua botol air mineral botol tanggung. Sekarang plastik dan botol kosong itu telah tergeletak tak berdaya di pinggiran kursi taman tempatnya menghabiskan hari.
Perut melilit tak mau peduli keadaan kantongnya. Perihnya memang tak seperih luka di hatinya selama bertahun-tahun. Tapi cukup membuatnya gelisah tak menentu, hingga malam itu gadis berumur dua belas tahun itu tak mampu memicingkan mata. Juga memaksanya pagi itu mengiba. Mengemis belas kasihan dari orang-orang di jalanan.
Sudah sepuluh lampu merah terlewati, namun dia tidak mendapat sekeping receh pun. Wajahnya kusam, berdebu, keringatan, dan bibirnya merengut. Dia menopang dagu, duduk di pinggiran trotoar. Mengamati berbagai kendaraan yang tak pernah berhenti melintas. Mobil, motor, becak, apa kau tak bosan setiap hari bergelut dengan terik siang hari dan dinginnya malam?
Lampu merah ke-sebelas, Saskia terlonjak berdiri. Sebuah mobil Honda Jazz berwarna biru berhenti, Saskia mendekat dan menadahkan tangannya.
“Om, minta uang. Buat beli makan…”
Kaca jendela mobil yang mengkilap terbuka. Seorang pria berkumis mengulurkan tangan hendak memberinya recehan tapi wanita cantik berkalungkan emas di sebelahnya mencegahnya.
“Kenapa?” tanya pria berkumis itu heran, “kan kasihan anak kecil itu. Dia kelaparan dan bajunya kumal.”
“Lihat telinganya, dia pengemis tapi beranting emas. Dia hanya malas bersekolah. Tidak usah diberi.”
Saskia tersentak. Reflek dia memegang kedua telinganya. Pantas, dia tidak mendapat uang sedari tadi. Ada anting emas di kedua telinganya! Dia cabut kedua anting emas itu dan membuangnya ke jalanan. Mengiba dengan lebih memelas, kali ini memang dengan kelaparan yang amat sangat. Kehausan yang membuat bibirnya kering dan pecah-pecah.
Cring! Bola mata mungilnya berbinar, sekeping uang lima ratus rupiah bergambar bunga melati mampir di  telapak tangannya. Nah kan? Gara-gara anting itu aku tidak mendapat uang. Dalam lima lampu merah berikutnya, dia memperoleh berkeping-keping seratus dan lima ratus rupiah, cukup untuk membeli sebungkus roti berlapis cokelat dan sebotol air mineral. Dia tak mengerti, andai saja dia cukup pandai untuk menyadari, anting emasnya itu cukup untuk membeli beberapa dus besar roti cokelat kesukaannya.
Menatap kulitnya yang makin menghitam terkena panas terik Sang Surya, kaos kumal dan kotor,  tak ada yang mengira dulunya dia adalah anak seorang pejabat yang istrinya punya affair dengan sopirnya yang berkulit gelap saat ditinggal dinas keluar negeri. Sang Tuan rumah tak curiga meski dia berkulit putih dan anak pertamanya berkulit gelap. Dia hanya mengharapkan kesempurnaan dari anaknya, saat tak mendapatkannya, dampratan yang dia hadiahkan kepada Saskia.
Saskia berkawan karib dengan jalanan sekarang, tak diharapkan orang tuanya. Andai saja dia bisa bermental kuat, dia bisa tetap bersekolah, tidak menenelusuri jalanan seperti ini. Entah sampai kapan…
Lampu merah kedua belas berhenti. Saskia beranjak mendekat. Dia makin pandai memainkan airmukanya. Mata sendu, suara lirih mengiba, tangan kanan menengadah, tangan kiri memegangi perut.
“Lapar, Om.”
Pintu kaca mobil terbuka, seorang pria berkulit gelap melongok, menatap sejenak gadis kecil itu. Mungkin ditemukannya pancaran sinar yang sama di bola mata memelas itu dengan sosok yang dia kenal. Diulurkannya dua keping lima ratusan.
“Terima kasih, Om.” Gadis kecil itu mengangguk.
Bocah itu cukup tahu sopan santun, batin pria itu. Lampu hijau menyala, klakson-klakson menjerit nyaring. Pria itu menjalankan mobil, meninggalkan gadis itu yang terpaku di trotoar. Dia sudah ditunggu bosnya untuk suatu urusan penting. Sejenak ditengoknya kembali bocah itu. Hatinya berdesir oleh perasaan aneh, entah apa itu.
* * *
Ditulis               :  15 September 2009
Dikirim             :
21 September 2009
Dimuat Koran Minggu Pagi       : No. 28 Th 62 Minggu II 09 Oktober 2009

Teh Hijau Kepala Djenggot

          Dulu aku adalah penggemar soda yang berwarna biruuu. Aku juga suka minum apa saja, kayak teh, kopi, jus, pokoknya minuman yang man...