Saturday, November 16, 2013

Lapithus dan Io
                                                             Lidya Renny Chrisnawaty


Dahulu kala di zaman para Dewa ada dua sejoli yang saling mencintai, yaitu Lapithus dan Io. Begitu besar cinta mereka sehingga Dewa Zeus cemburu dan memisahkan mereka. Aphrodhite, sang Dewi cinta dan kecantikan merasa kasihan kepada mereka lalu merubah Lapithus menjadi salju dan Io menjadi embun.
Sejak itu setiap musim salju tiba, salju akan turun bersama embun sehingga udara menjadi dingin. Itu berarti Lapithus sedang memeluk Io, dan apabila musim dingin tiba Io akan membelai Lapithus lembut.

Io menutup buku dongengnya.
“Oh, itu sebabnya kamu diberi nama Io? Soalnya kamu lahir pas hari bersalju di London dan kebetulan Mamamu sedang baca dongeng itu?”
“Iya. Karena Lapithus adalah cowoknya jadi aku diberi nama Io, yaitu embun.”
“Hahaha, Mamamu lucu juga ya? Kan panggilannya jadi aneh. Io… kayak lagu aja. Old Mcdonals had a farm. E-i-e-i-iaaooooo ioooo…. HAHAHA.” Arka tergelak.  
Io memukulkan buku dongengnya ke bahu Arka dengan raut wajah sebal. “Namamu sendiri artinya apa? Ar Ar Ka Kaaa.”
“Oh, Arka sih kata Papaku artinya Matahari. Soalnya aku kan lahir pagi-pagi setelah matahari bersinar. Aku ini matahari yang menerangi dunia,” ucap Arka bangga.
“Oh, pantes ya, kulitmu item terbakar matahari,” ejek Io.
Arka tertawa. “Tapi aku juga mau kok jadi Lapithus.” Dia memandang Io penuh arti.
Io, gadis berambut sebahu itu tertegun. “Kenapa kamu mau jadi salju?”
“Supaya aku bisa memeluk Io,” Arka tersenyum.
Io tertawa sampai giginya yang putih berderet rapi terlihat. “Siapa juga yang mau kamu peluk? Ogahh dehh… nehi… nehi…” protesnya.
“Bener gak mau?” Arka, cowok berambut ikal, berkulit kecoklatan dan bertubuh tegap itu mengerling jenaka. “Banyak cewek yang mau sama aku loh. Kamu akan nyesel deh nolak aku.”
Io tertawa lagi, menganggap Arka bercanda. “Kalo Io adalah embun, dipeluk Arka yang adalah matahari, nanti lumer donk. Mencair, menghilang tak berbekas.”
Arka hanya tersenyum. “Aku serius kok. Io, kamu mau jadi pacarku gak?”
Io tertegun. Dia tidak bisa menyangkal kalo Arka adalah cowok yang menarik dan menyenangkan. Sejak pertama berkenalan di sebuah pameran buku mereka merasa cocok karena sama-sama hobi membaca. Tapi rasanya terlalu cepat Arka memintanya menjadi pacar, mengingat usia pertemanan mereka yang baru sebulan. Lagipula Io sebentar lagi pulang ke London, karena dia hanya liburan ke rumah Neneknya di Yogyakarta.
“Arka… bukankah terlalu cepat kamu meminta itu? Lagipula aku bukan hendak menetap disini.”
“Kalo kamu jadi pacarku, so stay here for me…”
Io kaget. Meski Arka mengucapkan permintaan itu dengan lirih, tapi rasanya itu terlalu egois!
“Arka! Aku di London masih sekolah, aku tidak bisa tiba-tiba pindah kesini hanya demi kamu! Jangan egois seperti itu, Arka! Kita belum lama berkenalan tapi kamu sudah meminta sesuatu yang tidak masuk akal!” Io berdiri seakan menantang Arka yang masih berbaring di rumput halaman rumah Nenek Io.
Arka terpanjat karena Io malah marah dengan permintaannya. Dia terlonjak berdiri dan menggenggam tangan Io.
“Maaf, aku hanya ingin menghabiskan banyak waktu bersamamu, Io,” kata Arka dengan raut wajah menyesal. “Tapi kalo kamu mau kita berhubungan jarak jauh, ya tidak masalah bagiku.” Arka berusaha bernegosiasi.
Io mencibir. “Aku kan belum mengatakan ‘iya’ untuk jadi pacarmu. Ke-ge-er-an amat sih kamu?”
Arka tertawa. “Akan kutunggu sampai kamu bilang iya!” ucapnya yakin.

* * *

            Desember. London begitu dingin, Arka. Jalanan di sepanjang tepian Sungai Thames diguyur hujan salju. Atap-atap rumah tertutup lapisan putih salju. Ranting-ranting pohon tak berdaun hijau lagi, tersangkut beberapa lapisan salju. Aku juga merindukanmu, Arka. Liburan Natal nanti aku belum bisa ke Indonesia lagi. Mungkin Tahun Baru.  
            Io tersenyum dan menghentikan gerakannya menulis surat untuk Arka. Tiga bulan lalu Arka diterimanya menjadi pacar semata karena iseng aja. Usia Io enam belas tahun dan belum pernah berpacaran. Dia ingin merasakan indahnya merindukan seseorang itu. Tapi kalo mau jujur dia memang tertarik juga pada Arka. Jadi tak ada salahnya mereka berpacaran meski jarak jauh seperti ini. Toh, kalo Io bosan, dia bisa memutuskan Arka dan cari pacar di London.
            Arka memang punya banyak permintaan yang aneh-aneh. Di jaman handphone dan internet seperti ini, Arka malah ingin berkirim surat dengan tulisan tangan. Katanya akan lebih bernyawa membaca tulisan tangan Io daripada membaca ketikan komputer di email. Arka juga bilang ingin mengoleksi perangko dari London.
            Desember. Yogyakarta. Disini panas, Io sayang. Ada Arka ( matahari ) disini sehingga terik membakar kulit. Aku jadi makin hitam nih. Pasti kamu kaget. Oh kusertakan fotoku ya. Aku sangat merindukanmu. Ingin rasanya terbang kesana menggapaimu. Dan menjadi Lapithus yang bisa memeluk Io. Jangan cari Lapithus disana ya. Sudah ada Arka yang memeluk Io.  
            “Ya ampun hari gini masih surat-suratan? Dengan chat dan email kamu bisa balas-balasan dalam waktu singkat!” Rano, sepupu Arka yang tinggal di sebelah rumahnya, tiba-tiba masuk ke kamarnya mengagetkannya.
            Arka tertawa. “Justu itu tantangannya. Aku harus bersabar menunggu surat balasannya. Nyaris setiap hari aku duduk di deket jendela, menunggu Pak Pos menyerahkan surat dari Io padaku.”
            “Kamu memang aneh.” Rano menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Lihat, ini fotonya. Cantik kan?” Arka dengan bangga menunjukkan foto gadis cantik dengan bola mata kecoklatan dan kulit putih bersih. Tawanya akan membuat pria manapun takluk.
            “Ya, amat cantik.” Rano memandang foto itu lekat. Iri dengan keberuntungan Arka.
Sudah tiga bulan Arka dan Io lancar berkirim surat. Surat terakhir yang datang dari Io adalah ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru dan pemberitahuan dia akan datang pada tanggal 10 Januari. Arka begitu senang dan menceritakannya kepada Rano dengan penuh semangat. Arka membalas surat itu, karena hari itu dia ada kuliah pagi dan tidak sempat mampir ke kantor pos, maka dititipkannya surat itu kepada Rano untuk diposkan.
Seminggu, balasan Io belum datang. Arka bertanya pada Papa dan Mamanya namun mereka bilang tidak ada surat datang. Arka terus menunggu Pak Pos di depan jendela. Dua minggu. Arka mulai agak cemas dan mulai menyesali kenapa mereka dulu tidak bertukar nomer handphone dan email? Arka hanya tahu alamat surat Io. Tiga minggu, Arka datang ke rumah Nenek Io. Tapi Neneknya bilang tidak ada kabar buruk apa-apa, sepertinya kabar cucunya di London baik-baik saja. Sebulan, Arka mulai sedih.
“Mungkin Io sudah punya pacar baru. Bule kan cakep-cakep. Lagian kamu aneh-aneh aja pacaran jarak jauh gitu. Aku yang pacaran beda kota aja diselingkuhi pacarku, apalagi kamu yang di luar negeri,” Rano malah memanas-manasi Arka.
Sudah dua bulan dan Io juga tak datang di tanggal yang dijanjikannya. Arka mulai percaya ucapan Rano dan nyaris tergoda dengan tawaran Rano untuk berkenalan dengan cewek lain di kampusnya. Namun Io sungguh berarti bagi Arka. Arka meminta ijin kepada kedua orang tuanya untuk pergi ke London menemui Io.
“Tapi, kesehatanmu?  Kamu tidak cocok dengan udara dingin, Arka,” sahut Mamanya cemas.
“Arka tidak apa, Ma. Arka juga  tidak akan merepotkan Papa dan Mama soal biaya. Arka punya tabungan di Bank dan celengan. Cukup untuk pergi kesana,” kata Arka mantap. Yakin dengan keputusannya.
“Baiklah. Papa punya teman di London. Nanti Papa hubungi dia supaya kamu bisa tinggal sebentar di rumahnya,” kata Papanya.
“Makasih, Pa.” Arka terharu karena kedua orang tuanya mendukung keputusannya. Rano yang tahu menentang mati-matian.
“Gila kamu! Untuk apa kamu nyusul ke London segala? Disini banyak cewek lain, Ar!”
“Rano, aku yakin Io cinta sama aku, dan aku juga cinta sama dia. Mungkin ada sesuatu hal sehingga dia tidak bisa kirim surat. Mungkin jalur Pos terhalang salju atau apa. Pokoknya aku mau kesana!” 

* * * 

            Arka menggigil meski dia sudah menggunakan jaket tebal, syal dan sarung tangan. Dia juga terus-menerus bersin dan kulitnya terasa gatal. Berkat bantuan teman Papanya, Arka dengan mudah menemukan rumah Io. Rumah itu tidak terlalu besar tapi indah. Arka sudah mengetuk pintu tapi tak ada yang membukakan. Dia menunggu di teras rumah itu sambil meringkukkan tubuhnya.
            Satu jam kemudian sebuah mobil berhenti di depan rumah Io. Seorang gadis berjaket tebal merah keluar dari pintu sebelah kanan. Dan dari sisi pintu mobil kiri keluar seorang cowok bule tampan berjaket biru. Mereka masuk halaman sambil berbincang dan tertawa.
            Arka terperangah melihat pemandangan itu. Ah, apa Rano benar? Io sudah punya pacar yang lain? Arka bangkit dari duduknya dan menyapa Io.
            Io kaget melihat Arka. “Arka? Was it`s real or just my fantasy?”  
            Yes. This is me. Not your fantasy.” Arka menatap Io dengan perasaan campur aduk. Kagum dengan kecantikan Io yang rambutnya sekarang sudah sepunggung. Rindu memeluk Io. Dan juga sedih melihat Io bersama cowok lain.
            Cowok bule itu tersenyum pada Arka lalu masuk ke dalam rumah. Io dan Arka duduk di teras.
            “Tampaknya kamu sudah punya pacar baru?” sindir Arka langsung.
            “Dia bukan pacarku,” sangkal Io. “Dia sepupuku.”
            “Benarkah? Lalu kenapa kamu tidak pernah mengirim surat lagi padaku?”
            Io kaget lalu menatap Arka dengan raut wajah sedih. “Bukankah di dalam surat terakhirmu, kamu sendiri yang bilang kalo kamu sudah punya pacar baru dan memintaku untuk tidak mengirim surat lagi padamu?”
            Arka kaget. “Aku tidak pernah mengirim surat seperti itu!”
            “Aku tidak bohong. Aku masih menyimpan surat itu!” Io berlari masuk ke dalam rumah dan Arka mengikutinya. Io masuk ke kamarnya dan mengubrak-abrik laci meja riasnya. Dia menemukan surat-surat dari Arka di lapisan paling bawah.
            Arka terperangah saat membaca surat itu. “Ini bukan tulisan tanganku! Kenapa kamu tidak memperhatikannya? Beda dengan tulisan tanganku sebelumnya.”
            “Disitu juga tertulis, tulisanmu agak beda karena tanganmu sedikit terkilir.”
            “Ini tulisan…” Arka tertegun. “Rano, sepupuku! Ah, dasar sepupu sialan! Awas kalo nanti aku pulang!” geram Arka.
            “Bagaimana? Aku tidak paham. Kamulah yang memutuskan aku,” ucap Io sedih. Bola mata kecoklatannya berkaca-kaca.
            “Sayang, ini hanya salah paham. Aku menitipkan suratku ke Rano, sepupuku untuk diposkan. Ternyata dia mengubah isi surat ini dan mengirimkan kepadamu. Ah, pantas surat darimu tak pernah datang lagi. Dia iri aku punya pacar yang cantik dan setia, sementara pacar dia di lain kota selingkuh. Maafkan aku ya sudah meragukanmu.” Arka menggenggam tangan Io.
            “Ah, jadi si Rano itulah yang jadi Dewa Zeus untuk memisahkan kita karena cemburu dengan ketulusan cinta kita?” Io tertawa.
            “Sepertinya begitu.” Arka tertawa dan memeluk Io. “Akhirnya aku bisa memeluk Io, tapi… Hatsyiiiiiiiiiiiii!!! Hatsyiiiiiiiii!!” Arka melepaskan pelukannya dari Io.
            “Ada apa, Arka? Kenapa wajahmu bentol-bentol dan memerah?”
            “Kuberanikan datang kesini untuk menemuimu. Aku ingin jadi Lapithus yang memeluk Io, tapi ternyata gagal karena aku alergi dingin. Hahaha.” Wajah Arka makin memerah karena malu.
            Io tertawa. “Tidak apa. Akan kurawat Arka, matahariku.” Dibelainya pipi Arka yang bentol kemerahan lembut. Hangat menyapu kulit Arka dan juga hatinya.

* * *
Ditulis               : 24 Juni 2010
Dikirim             : 26 Juni 2010
Dimuat di Majalah Hai  : No. 34 /Th XXXIV 23-29 Agustus 2010





Teh Hijau Kepala Djenggot

          Dulu aku adalah penggemar soda yang berwarna biruuu. Aku juga suka minum apa saja, kayak teh, kopi, jus, pokoknya minuman yang man...