Pemain Cinta
Oleh
: Lidya Renny Chrisnawaty
Bergie nyaris tak ingat
sudah berapa kali mematahkan hati para wanita. Hati itu terpatah-patah,
berserakan di hadapannya tapi tak pernah dipedulikannya. Dia seorang womanizer.
Di dalam agendanya tercatat rapi daftar kencan. Satu hari satu wanita. Hari ini
wanita berambut lurus dan bertubuh langsing. Esoknya wanita yang berbeda lagi,
berambut ikal dan bertubuh sintal. Dia memang menarik. Sosoknya ganteng, berkulit
kuning langsat, tegap dan mapan. Dialah sang Don Juan, pemikat wanita sejati.
Hujan turun membentuk
kubah cantik, seperti tirai-tirai yang terangkai dengan sempurna. Sungguh
dingin menerpa raga. Di sisi Bergie terbaring seorang wanita, penghangat
malamnya yang panjang. Bola mata indah itu tertutup, hampa menerpa hati Bergie.
Sejak lama dia merindukan sosok wanita serupa ibunya yang begitu dirindukannya.
Namun juga dibencinya.
Baginya Ibunya itu
seperti serigala betina. Gemar mempermainkan lelaki. Mencabut hati mereka dan
menikmati lara itu. Bergie menyukai wanita karena keindahannya juga membenci
karena kelakuannya. Ibunya meninggalkan ayahnya yang miskin, pergi mencari
lelaki kaya. Ayahnya sakit pun wanita itu tak peduli. Bahkan dia berlagak lupa
pernah melahirkan dirinya.
“Ibu, Ayah sakit. Ayo
ikut Bergie pulang, Bu,” pinta Bergie dengan suara bergetar karena kehujanan. Waktu
itu dia baru berusia 10 tahun, usia yang sangat butuh bimbingan seorang Ibu.
Tapi wanita itu tak
tersentuh sedikitpun, mungkin hatinya telah terbuat dari batu.
“Aku tidak kenal
kau! Jangan panggil aku Ibu!”
Dibantingnya pintu besar berhiaskan ukiran itu. Meninggalkan seorang bocah yang
makin menggigil lalu terserok-serok meniti malam hampa. Berangkat dengan
harapan dan pulang dengan tangan kosong.
Bergie tidak akan
melupakan malam menyakitkan itu. Ayahnya meninggal saat dia menjemput Ibunya. Tanpa
sempat mengucapkan pesan apapun. Sakit hatinya sungguh tak berperi. Dia
bersumpah akan berusaha menjadi orang kaya dan mempermainkan wanita yang serupa
Ibunya. Pekerjaan apa saja dia lakoni, mulai dari kuli bangunan, sales obat, sampai
pelayan restoran. Dikumpulkannya rupiah demi rupiah untuk modal berwiraswasta. Dia
tertarik pada usaha jam tangan dan menekuninya. Akhirnya dia berhasil membangun
sebuah toko jam grosir dan eceran. Usahanya laris karena kemampuan marketingnya
juga. Dia menjadi kaya.
Uang selalu menarik
siapapun mendekat. Para wanita cantik mulai mengerubunginya serupa kupu-kupu di
taman bunga. Tertarik dengan wangi uang yang serupa madu. Manis dan memabukkan.
Wanita serupa Ibunya.
Bergie memejamkan
matanya. Teringat ucapan Ibunya kepada ayahnya yang selalu sabar juga rapuh.
“Aku menyesal menikah
denganmu! Hidup miskin dan sengsara!” teriak wanita yang dipanggilnya Ibu itu
kepada ayahnya yang hanya menunduk terdiam. Wanita itu mengemasi pakaiannya
yang hanya beberapa potong dan pergi membanting pintu tanpa pamit padanya, anak
yang dilahirkannya.
Bergie sudah terbiasa
sedari kecil menerima segala perlakuan Ibunya. Tak ada kasih sayang terucap dari
bibir ranum itu. Maupun belain sayang dari tangan lembut itu. Ibunya memang
cantik. Kembang di desa itu. Ayahnya beruntung bisa menikahinya.
“Jangan membenci Ibumu.
Dulu dia adalah wanita yang baik dan patuh pada suami,” ucap ayahnya sambil
membelai kepalanya.
“Kenapa sekarang Ibu
begitu kasar pada Ayah?” Bergie meratap. Meski Ibunya tak pernah sayang padanya
tapi dia cukup kehilangan sosok itu.
“Ibumu hanya
terpengaruh oleh wanita kaya yang pernah datang ke desa ini untuk membeli tanah.
Ibumu mulai iri pada wanita yang mengenakan pewarna palsu di bibirnya serupa
warna darah. Pada tali berkilauan di leher wanita itu. Pada semua benda gemerlapan
yang dikenakan wanita itu. Ibumu mulai menuntut pada Ayah. Mulai menyalahkan
ayah yang bahkan tak mampu membelikannya sepotong pakaian yang bagus. Nasi dan
lauk seadanya, hanya itu yang mampu Ayah berikan.”
Embun mulai menetes
dari bola mata Ayahnya. Pastilah hati Ayah sungguh pedih. Karena pantang bagi
seorang lelaki untuk meneteskan airmata dalam keadaan apapun. Lelaki ditakdirkan
untuk menjadi kuat. Karena di pundaknya terpikul
tanggung jawab besar.
Setelah bertualang
mengencani pria-pria berduit, wanita itu memang berhasil menikah dengan pria
kaya seperti impiannya. Tinggal di rumah besar bak istana dan bergaun
Cinderella. Menukar cinta tulus seorang pria miskin dan anak lelaki tampan yang
merindukan kasih sayangnya dengan harta. Tapi sepuluh tahun kemudian dia
meninggal karena sakit dan setres. Suaminya dipenjara karena kasus korupsi dan
harta mereka disita.
Bergie tak ingin
menikah. Tak ingin berakhir seperti ayahnya. Tak ada jaminan cinta tulus akan terus
bertahan tanpa uang dan kekuasaan. Mempermainkan wanita serupa Ibunya sudah
cukup. Puas namun hampa. Dia akan bertahan. Sebagai pemain cinta. Meremat hati
wanita yang memohon padanya untuk dinikahi. Entah sampai kapan…
Ditulis :
12 Februari 2010 23:20:51
Dikirim : 17 Februari 2010
Dimuat di Koran
Minggu Pagi : No 48 TH 62 Minggu IV 26 Februari 2010