Friday, November 15, 2013


Pemain Cinta

Oleh : Lidya Renny Chrisnawaty

Bergie nyaris tak ingat sudah berapa kali mematahkan hati para wanita. Hati itu terpatah-patah, berserakan di hadapannya tapi tak pernah dipedulikannya. Dia seorang womanizer. Di dalam agendanya tercatat rapi daftar kencan. Satu hari satu wanita. Hari ini wanita berambut lurus dan bertubuh langsing. Esoknya wanita yang berbeda lagi, berambut ikal dan bertubuh sintal. Dia memang menarik. Sosoknya ganteng, berkulit kuning langsat, tegap dan mapan. Dialah sang Don Juan, pemikat wanita sejati.
Hujan turun membentuk kubah cantik, seperti tirai-tirai yang terangkai dengan sempurna. Sungguh dingin menerpa raga. Di sisi Bergie terbaring seorang wanita, penghangat malamnya yang panjang. Bola mata indah itu tertutup, hampa menerpa hati Bergie. Sejak lama dia merindukan sosok wanita serupa ibunya yang begitu dirindukannya. Namun juga dibencinya.
Baginya Ibunya itu seperti serigala betina. Gemar mempermainkan lelaki. Mencabut hati mereka dan menikmati lara itu. Bergie menyukai wanita karena keindahannya juga membenci karena kelakuannya. Ibunya meninggalkan ayahnya yang miskin, pergi mencari lelaki kaya. Ayahnya sakit pun wanita itu tak peduli. Bahkan dia berlagak lupa pernah melahirkan dirinya.
“Ibu, Ayah sakit. Ayo ikut Bergie pulang, Bu,” pinta Bergie dengan suara bergetar karena kehujanan. Waktu itu dia baru berusia 10 tahun, usia yang sangat butuh bimbingan seorang Ibu.
Tapi wanita itu tak tersentuh sedikitpun, mungkin hatinya telah terbuat dari batu.
“Aku tidak kenal kau!  Jangan panggil aku Ibu!” Dibantingnya pintu besar berhiaskan ukiran itu. Meninggalkan seorang bocah yang makin menggigil lalu terserok-serok meniti malam hampa. Berangkat dengan harapan dan pulang dengan tangan kosong.
Bergie tidak akan melupakan malam menyakitkan itu. Ayahnya meninggal saat dia menjemput Ibunya. Tanpa sempat mengucapkan pesan apapun. Sakit hatinya sungguh tak berperi. Dia bersumpah akan berusaha menjadi orang kaya dan mempermainkan wanita yang serupa Ibunya. Pekerjaan apa saja dia lakoni, mulai dari kuli bangunan, sales obat, sampai pelayan restoran. Dikumpulkannya rupiah demi rupiah untuk modal berwiraswasta. Dia tertarik pada usaha jam tangan dan menekuninya. Akhirnya dia berhasil membangun sebuah toko jam grosir dan eceran. Usahanya laris karena kemampuan marketingnya juga. Dia menjadi kaya.
Uang selalu menarik siapapun mendekat. Para wanita cantik mulai mengerubunginya serupa kupu-kupu di taman bunga. Tertarik dengan wangi uang yang serupa madu. Manis dan memabukkan. Wanita serupa Ibunya.
Bergie memejamkan matanya. Teringat ucapan Ibunya kepada ayahnya yang selalu sabar juga rapuh.
“Aku menyesal menikah denganmu! Hidup miskin dan sengsara!” teriak wanita yang dipanggilnya Ibu itu kepada ayahnya yang hanya menunduk terdiam. Wanita itu mengemasi pakaiannya yang hanya beberapa potong dan pergi membanting pintu tanpa pamit padanya, anak yang dilahirkannya.
Bergie sudah terbiasa sedari kecil menerima segala perlakuan Ibunya. Tak ada kasih sayang terucap dari bibir ranum itu. Maupun belain sayang dari tangan lembut itu. Ibunya memang cantik. Kembang di desa itu. Ayahnya beruntung bisa menikahinya.
“Jangan membenci Ibumu. Dulu dia adalah wanita yang baik dan patuh pada suami,” ucap ayahnya sambil membelai kepalanya.
“Kenapa sekarang Ibu begitu kasar pada Ayah?” Bergie meratap. Meski Ibunya tak pernah sayang padanya tapi dia cukup kehilangan sosok itu.
“Ibumu hanya terpengaruh oleh wanita kaya yang pernah datang ke desa ini untuk membeli tanah. Ibumu mulai iri pada wanita yang mengenakan pewarna palsu di bibirnya serupa warna darah. Pada tali berkilauan di leher wanita itu. Pada semua benda gemerlapan yang dikenakan wanita itu. Ibumu mulai menuntut pada Ayah. Mulai menyalahkan ayah yang bahkan tak mampu membelikannya sepotong pakaian yang bagus. Nasi dan lauk seadanya, hanya itu yang mampu Ayah berikan.”
Embun mulai menetes dari bola mata Ayahnya. Pastilah hati Ayah sungguh pedih. Karena pantang bagi seorang lelaki untuk meneteskan airmata dalam keadaan apapun. Lelaki ditakdirkan untuk menjadi kuat. Karena di pundaknya  terpikul tanggung jawab besar.
Setelah bertualang mengencani pria-pria berduit, wanita itu memang berhasil menikah dengan pria kaya seperti impiannya. Tinggal di rumah besar bak istana dan bergaun Cinderella. Menukar cinta tulus seorang pria miskin dan anak lelaki tampan yang merindukan kasih sayangnya dengan harta. Tapi sepuluh tahun kemudian dia meninggal karena sakit dan setres. Suaminya dipenjara karena kasus korupsi dan harta mereka disita.
Bergie tak ingin menikah. Tak ingin berakhir seperti ayahnya. Tak ada jaminan cinta tulus akan terus bertahan tanpa uang dan kekuasaan. Mempermainkan wanita serupa Ibunya sudah cukup. Puas namun hampa. Dia akan bertahan. Sebagai pemain cinta. Meremat hati wanita yang memohon padanya untuk dinikahi. Entah sampai kapan…
Ditulis               :  12 Februari 2010 23:20:51
Dikirim             : 17 Februari 2010
Dimuat di Koran Minggu Pagi   : No 48 TH 62 Minggu IV  26 Februari 2010




Teh Hijau Kepala Djenggot

          Dulu aku adalah penggemar soda yang berwarna biruuu. Aku juga suka minum apa saja, kayak teh, kopi, jus, pokoknya minuman yang man...