Kamu
apa adanya!
Langit membentangkan layar abu-abu kelam. Hujan
turun rintik lalu mulai deras. Beberapa anak berseragam abu-abu berlarian
mencari tempat berteduh. Tapi ada seorang cowok yang seakan tidak peduli dengan
air hujan yang mulai membasahi baju seragamnya itu. Dia sedang berdiri di samping
seorang gadis berpayung biru, tampak dia sedang berusaha membujuk gadis itu.
“Nin aku anter pulang ya…,” bujuk Hendrix lembut
untuk kesekian kalinya. Namun untuk keseribu-satu kalinya pula Nindy menolak.
“Nggak usah, Hen. Makasih.” Setelah melihat
ada bus berwarna merah sedang melaju ke arahnya gadis manis bernama Nindy itu
langsung menyetop bis itu dan
meninggalkan Hendrix yang terpaku. Cowok cakep berambut jabrik itu memang tidak
pernah mengerti apa yang salah dengan dirinya sehingga Nindy selalu menolaknya.
Dia kurang sopan? Kurang halus bersikap pada gadis sependiam Nindy? Itulah yang
membuatnya makin penasaran.
Hujan makin deras, tidak ada pilihan lain
selain masuk kembali ke dalam bangunan sekolah bercat hijau itu. Dengan langkah
gontai Hendrix menuju kantin sekolah. Dia melihat Fikri, sobatnya yang bertubuh
gempal itu sedang asyik mengunyah bulatan baksonya. Dihempaskannya tubuhnya di
kursi lalu menghela nafas kesal. Fikri mendongak, menatap wajah Hendrix yang
kusut.
“Kenapa tampangmu kusut gitu? Kayak kain pel
belum dicuci satu taun aja! Hihi…,” ledek Fikri geli. Hendrix langsung bercerita
tentang sikap Nindy padanya.
“Aku nggak ngerti wanita,” keluh Hendrix.
“HAHAHA… ada juga cewek yang menolak cowok
secakep and tajir macam kamu ini!”
“Kamu ini diceritain malah ngeledek!”
Fikri menahan tawa, lalu pasang tampang sok
serius. “Hmm… cewek tuh memang gitu…”
“Maksudmu, Fik?”
“Iya… cewek itu memang jinak-jinak merpati.
Kalau dideketin malu-malu trus menjauh, tapi kalau dijauhin malah mendekat.”
“Trus maksudmu aku harus ngejauhin dia dulu
gitu?”
“Yah… nggak ada salahnya mencoba. Lihat dulu
gimana nanti reaksinya, kalau nggak berhasil, masih ada 1001 cara untuk memikat
wanita kok! Ahahaha…”
Hendrix mencibir, “Sok tau lo!”
* * *
Rumah itu kecil dengan pintu yang mulai
mengelupas dan pudar catnya. Nindy meletakkan tasnya di sebuah kursi kayu. Dia
mendesah pelan. Dia teringat kata-kata Frida, teman sekelasnya tentang Hendrix:
“Hendrix itu anak orang kaya, papanya seorang pengusaha sukses. Semua cewek
pasti mau sama dia, udah cakep, tajir pula. Kayaknya nggak mungkin dia suka sama
kamu, Nin! Sorry, bukannya aku ngerendahin kamu atau gimana, aku rasa cowok
kayak gitu cuma mau maen-maen sama kamu aja, Nin…”
”Iya. Nggak mungkin dia suka sama aku.
Apalagi kalau dia sampai tau keadaan keluargaku yang miskin seperti ini. Jauh
banget dibandingin sama keluarga dia yang kaya raya…,” gunam Nindy sedih.
* * *
Nindy menunduk saat melangkah di koridor
sekolah, tanpa sengaja dia menabrak bahu seseorang. “Maaf…,” katanya lirih lalu
mendongak. Ah, Hendrix! Tidak seperti biasanya, Hendrix tak berucap sepatah
kata pun, dia berlalu pergi begitu saja. Tiba-tiba perasaan bersalah menghujam
hati Nindy, dia sekarang merasakan betapa tidak enaknya dicuekin.
Hendrix melangkah terburu-buru ke kantin
menjumpai sobat gembulnya yang sudah pasti sedang ada disitu mengunyah makanan.
“Fik… aku tadi sudah mencoba menghindari
Nindy tapi dia kayaknya biasa aja tuhh…,” cerita Hendrix dengan wajah muram.
“Masak seh? Nggak ah... pasti dia kecewa
trus habis itu dia bakal penasaran dan gantian ngejar kamu deh! Percaya dchh sama
akuu!” kata Fikri sok yakin. Hendrix tersenyum kecut.
Selang beberapa hari telah berlalu namun
tidak ada tanda-tanda Nindy akan mengejarnya. Nindy kelihatan biasa aja. Setiap
ketemu Hendrix dia cuma diem lalu berlalu pergi dengan wajah menunduk. Hendrix
jadi bingung.
“Wah taktik Fikri nggak berhasil nih,”
omelnya kesal. Malah bikin tambah runyam! Bukannya dapet malah makin lari aja si Nindy! Hendrix
memutuskan untuk mengikuti bus yang dinaiki Nindy sepulang sekolah.
Hari ini juga mendung namun tampaknya langit
sedang berbaik hati sehingga hujan tidak turun membasahi bumi. Dia mengendarai
montornya dengan perlahan di belakang bus, takut ketahuan Nindy. Cewek itu turun di sebuah jalan kecil lalu
masuk gang kecil yang tidak mungkin dimasuki montor. Hendrix terpaksa memarkir
montornya di luar gang itu lalu melangkah pelan mengikuti Nindy. Hendrix
sembunyi di balik sebuah pohon saat Nindy menoleh tiba-tiba lalu melangkah
memasuki sebuah rumah sederhana. Hendrix terpana. Ini rumah Nindy? Hendrix
melangkah ragu di depan pintu kayu itu, tapi dia memberanikan diri mengetuk
pintu cokelat itu.
Nindy sedang mengganti seragamnya dengan
kaos. Dia mendengar ketukan di pintu. Siapa ya? Wajahnya langsung pucat saat
tahu sosok di balik pintu adalah Hendrix, orang yang tidak ingin ditemuinya di
rumahnya yang sederhana.
“Nin, boleh aku masuk?” pinta Hendrix sopan.
“Eng… ba-bagaimana kamu bisa tahu rumahku?
Ke-ke… napa kamu kesini?”
“Boleh aku masuk?” ulang Hendrix tanpa
memperdulikan pertanyaan Nindy.
“Eng…” Nindy kebingungan. Dia malu Hendrix
mengetahui tentang keadaan rumahnya.Tapi tidak ada pilihan lain selain
mengijinkan Hendrix masuk. “Silahkan…”
Hendrix keliatan senang. Matanya menelusuri
dalam rumah itu. Tidak ada kesan mengejek sama sekali di matanya.
“Aku boleh duduk nggak?” tanya Hendrix
menatap kursi kayu di dekat dia berdiri.
“Eh, iya. Silakan duduk, tapi kotor…” Hendrix
keliatan duduk nyaman di kursi itu, yang
tentu saja keras, tidak sebanding dengan sofa di rumahnya yang berharga jutaan
rupiah.
“Kamu mau minum apa?” Nindy mulai terlihat
santai, “hanya ada teh hangat seh...”
“Boleh... aku hauss bangett nihh...” Hendrix tertawa
tanpa malu-malu.
Nindy tertawa kecil. “Bentar ya...” Nindy
melangkah ke sudut ruangan itu dan membuat 2 gelas teh. Hendrix
memperhatikan sosok Nindy dari belakang. Hilang sudah semua keresahannya selama ini, ternyata Nindy bukannya
membencinya.
“Nih tehnya.” Nindy menyodorkan secangkir teh lalu menempatkan
dirinya di kursi sebelah Hendrix.
Hendrix langsung meneguk teh itu sampai
habis, “Makasih… tehnya enak sekali.” Dia
meletakkan gelas kosong di atas meja, diraihnya tangan Nindy. Nindy kaget tapi
tidak menolak genggaman lembut di tangannya.
“Nin... maafin aku ya. Kemaren nyuekin kamu... Hmm... aku
dari dulu tuh suka sama kamu, tapi aku ngerasa kamu benci sama aku karena kamu
selalu ngindari aku terus.”
“Aku nggak benci kamu kok!” sergah Nindy.
Mata Hendrix berkilat nakal, “Berarti kamu
suka sama aku?”
Semburat kemerahan menyapu pipi Nindy, “Aku…
malu keadaan keluargaku jauh berbeda denganmu…”
“Aku kan sudah tau. Dan memangnya
ada masalah dengan itu?” Hendrix tertawa kecil. “Aku suka kamu... yah kamunya! Kamu apa adanya,” kata Hendrix terus
terang. “Gimana
Nin? Kamu mau
jadi pacarku?”
“Tapi Hen... Aku…”
Seakan tahu apa yang
dipikirkan Nindy, Hendrix berkata, “Aku serius. Tidak
mempermainkanmu. Sekarang, aku cuma pengen
tahu satu hal… kamu suka sama aku nggak? Jawab dengan tegas ya..”
Nindy menggigit bibirnya. “Aku suka... tapi…”
“Ya udah!” potong Hendrix, “cuma
itu yang perlu aku tahu! Berarti kamu setuju jadi
pacarku donk!” Dia tertawa senang.
* * *
Dimuat : Majalah Teen : Edisi 179/th XVI/Minggu Pertama September
2009