Saturday, November 16, 2013




Kamu apa adanya!


Langit membentangkan layar abu-abu kelam. Hujan turun rintik lalu mulai deras. Beberapa anak berseragam abu-abu berlarian mencari tempat berteduh. Tapi ada seorang cowok yang seakan tidak peduli dengan air hujan yang mulai membasahi baju seragamnya itu. Dia sedang berdiri di samping seorang gadis berpayung biru, tampak dia sedang berusaha membujuk gadis itu.
“Nin aku anter pulang ya…,” bujuk Hendrix lembut untuk kesekian kalinya. Namun untuk keseribu-satu kalinya pula Nindy menolak.
“Nggak usah, Hen. Makasih.” Setelah melihat ada bus berwarna merah sedang melaju ke arahnya gadis manis bernama Nindy itu langsung  menyetop bis itu dan meninggalkan Hendrix yang terpaku. Cowok cakep berambut jabrik itu memang tidak pernah mengerti apa yang salah dengan dirinya sehingga Nindy selalu menolaknya. Dia kurang sopan? Kurang halus bersikap pada gadis sependiam Nindy? Itulah yang membuatnya makin penasaran.
Hujan makin deras, tidak ada pilihan lain selain masuk kembali ke dalam bangunan sekolah bercat hijau itu. Dengan langkah gontai Hendrix menuju kantin sekolah. Dia melihat Fikri, sobatnya yang bertubuh gempal itu sedang asyik mengunyah bulatan baksonya. Dihempaskannya tubuhnya di kursi lalu menghela nafas kesal. Fikri mendongak, menatap wajah Hendrix yang kusut.
“Kenapa tampangmu kusut gitu? Kayak kain pel belum dicuci satu taun aja! Hihi…,” ledek Fikri geli. Hendrix langsung bercerita tentang sikap Nindy padanya.
“Aku nggak ngerti wanita,” keluh Hendrix.
“HAHAHA… ada juga cewek yang menolak cowok secakep and tajir macam kamu ini!”
“Kamu ini diceritain malah ngeledek!”
Fikri menahan tawa, lalu pasang tampang sok serius.  “Hmm… cewek tuh memang gitu…”
“Maksudmu, Fik?”
“Iya… cewek itu memang jinak-jinak merpati. Kalau dideketin malu-malu trus menjauh, tapi kalau dijauhin malah mendekat.”
“Trus maksudmu aku harus ngejauhin dia dulu gitu?”
“Yah… nggak ada salahnya mencoba. Lihat dulu gimana nanti reaksinya, kalau nggak berhasil, masih ada 1001 cara untuk memikat wanita kok! Ahahaha…”
Hendrix mencibir, “Sok tau lo!”

                                                   * * *

Rumah itu kecil dengan pintu yang mulai mengelupas dan pudar catnya. Nindy meletakkan tasnya di sebuah kursi kayu. Dia mendesah pelan. Dia teringat kata-kata Frida, teman sekelasnya tentang Hendrix: “Hendrix itu anak orang kaya, papanya seorang pengusaha sukses. Semua cewek pasti mau sama dia, udah cakep, tajir pula. Kayaknya nggak mungkin dia suka sama kamu, Nin! Sorry, bukannya aku ngerendahin kamu atau gimana, aku rasa cowok kayak gitu cuma mau maen-maen sama kamu aja, Nin…”
”Iya. Nggak mungkin dia suka sama aku. Apalagi kalau dia sampai tau keadaan keluargaku yang miskin seperti ini. Jauh banget dibandingin sama keluarga dia yang kaya raya…,” gunam Nindy sedih.

*  *  *

Nindy menunduk saat melangkah di koridor sekolah, tanpa sengaja dia menabrak bahu seseorang. “Maaf…,” katanya lirih lalu mendongak. Ah, Hendrix! Tidak seperti biasanya, Hendrix tak berucap sepatah kata pun, dia berlalu pergi begitu saja. Tiba-tiba perasaan bersalah menghujam hati Nindy, dia sekarang merasakan betapa tidak enaknya dicuekin.
Hendrix melangkah terburu-buru ke kantin menjumpai sobat gembulnya yang sudah pasti sedang ada disitu mengunyah makanan.
“Fik… aku tadi sudah mencoba menghindari Nindy tapi dia kayaknya biasa aja tuhh…,” cerita Hendrix dengan wajah muram.
“Masak seh? Nggak ah... pasti dia kecewa trus habis itu dia bakal penasaran dan gantian ngejar kamu deh! Percaya dchh sama akuu!” kata Fikri sok yakin. Hendrix tersenyum kecut.
Selang beberapa hari telah berlalu namun tidak ada tanda-tanda Nindy akan mengejarnya. Nindy kelihatan biasa aja. Setiap ketemu Hendrix dia cuma diem lalu berlalu pergi dengan wajah menunduk. Hendrix jadi bingung.
“Wah taktik Fikri nggak berhasil nih,” omelnya kesal. Malah bikin tambah runyam! Bukannya dapet  malah makin lari aja si Nindy! Hendrix memutuskan untuk mengikuti bus yang dinaiki Nindy sepulang sekolah.
Hari ini juga mendung namun tampaknya langit sedang berbaik hati sehingga hujan tidak turun membasahi bumi. Dia mengendarai montornya dengan perlahan di belakang bus, takut ketahuan Nindy.  Cewek itu turun di sebuah jalan kecil lalu masuk gang kecil yang tidak mungkin dimasuki montor. Hendrix terpaksa memarkir montornya di luar gang itu lalu melangkah pelan mengikuti Nindy. Hendrix sembunyi di balik sebuah pohon saat Nindy menoleh tiba-tiba lalu melangkah memasuki sebuah rumah sederhana. Hendrix terpana. Ini rumah Nindy? Hendrix melangkah ragu di depan pintu kayu itu, tapi dia memberanikan diri mengetuk pintu cokelat itu.
Nindy sedang mengganti seragamnya dengan kaos. Dia mendengar ketukan di pintu. Siapa ya? Wajahnya langsung pucat saat tahu sosok di balik pintu adalah Hendrix, orang yang tidak ingin ditemuinya di rumahnya yang sederhana.
“Nin, boleh aku masuk?” pinta Hendrix sopan.
“Eng… ba-bagaimana kamu bisa tahu rumahku? Ke-ke… napa kamu kesini?”
“Boleh aku masuk?” ulang Hendrix tanpa memperdulikan pertanyaan Nindy.
“Eng…” Nindy kebingungan. Dia malu Hendrix mengetahui tentang keadaan rumahnya.Tapi tidak ada pilihan lain selain mengijinkan Hendrix masuk. “Silahkan…”
Hendrix keliatan senang. Matanya menelusuri dalam rumah itu. Tidak ada kesan mengejek sama sekali di matanya.
“Aku boleh duduk nggak?” tanya Hendrix menatap kursi kayu di dekat dia berdiri.
“Eh, iya. Silakan duduk, tapi kotor…” Hendrix keliatan duduk nyaman di  kursi itu, yang tentu saja keras, tidak sebanding dengan sofa di rumahnya yang berharga jutaan rupiah.
“Kamu mau minum apa?” Nindy mulai terlihat santai, “hanya ada teh hangat seh...”
“Boleh... aku hauss bangett nihh...” Hendrix tertawa tanpa malu-malu.
Nindy tertawa kecil.Bentar ya...” Nindy melangkah ke sudut ruangan itu dan membuat 2 gelas teh. Hendrix memperhatikan sosok Nindy dari belakang. Hilang sudah semua keresahannya selama ini, ternyata Nindy bukannya membencinya.
“Nih tehnya.” Nindy menyodorkan secangkir teh lalu menempatkan dirinya di kursi sebelah Hendrix.
Hendrix langsung meneguk teh itu sampai habis, “Makasih… tehnya enak sekali.” Dia meletakkan gelas kosong di atas meja, diraihnya tangan Nindy. Nindy kaget tapi tidak menolak genggaman lembut di tangannya.
“Nin... maafin aku ya. Kemaren nyuekin kamu... Hmm... aku dari dulu tuh suka sama kamu, tapi aku ngerasa kamu benci sama aku karena kamu selalu ngindari aku terus.
“Aku nggak benci kamu kok!” sergah Nindy.
Mata Hendrix berkilat nakal, “Berarti kamu suka sama aku?”
Semburat kemerahan menyapu pipi Nindy, “Aku… malu keadaan keluargaku jauh berbeda denganmu…”
“Aku kan sudah tau. Dan memangnya ada masalah dengan itu?” Hendrix tertawa kecil.Aku suka kamu... yah kamunya! Kamu apa adanya, kata Hendrix terus terang.Gimana Nin? Kamu mau jadi pacarku?”
“Tapi Hen... Aku…”
Seakan tahu apa yang dipikirkan Nindy, Hendrix berkata, “Aku serius. Tidak mempermainkanmu. Sekarang, aku cuma pengen tahu satu hal… kamu suka sama aku nggak? Jawab dengan tegas ya..”
Nindy menggigit bibirnya.Aku suka... tapi…”
“Ya udah!” potong Hendrix, “cuma itu yang perlu aku tahu! Berarti kamu setuju jadi pacarku donk!” Dia tertawa senang.

                                                 * * *

Dimuat : Majalah Teen : Edisi 179/th XVI/Minggu Pertama September 2009

Teh Hijau Kepala Djenggot

          Dulu aku adalah penggemar soda yang berwarna biruuu. Aku juga suka minum apa saja, kayak teh, kopi, jus, pokoknya minuman yang man...