Supena
Lidya Renny Chrisnawaty
Sumber gambar : www.embassyofindonesia.org |
“Arghhhhh!!”
Sosok itu mendekat, bola
matanya melotot, kukunya panjang-panjang, gigi taring kehitaman yang sangat
panjang, lidah panjang yang terulur ke arahku. Aku berlari tersuruk-suruk
ketakutan meniti kegelapan.
Sesuatu selalu menikam
jiwaku ke dalam kegelapan ke dasar tanah yang dingin. Meronta dari mimpi yang
panjang dan melelahkan. Aku hanya ingin tersadar dan menghirup nafas dunia yang
meski terkadang juga menyesakkan namun lebih melegakan daripada di alam mimpi…
Mual. Serasa mau muntah.
Perutku seperti diaduk-aduk. Kutatap bayangan wajahku di depan cermin.
Urat-urat kemerahan merambat di bola mataku yang seharusnya putih gading. Aku
meraba dahiku lalu mengerang. Kutatap kecewa ransel hitam yang teronggok lesu di
tepi ranjang. Kepalaku berdenyut-denyut.
Bel pintu berbunyi
nyaring seperti terompet tahun baru. Aku mengerang lagi lalu terhuyung-huyung
keluar dari kamar ke pintu depan.
“Siap untuk pertualangan
ke Pulau Dewata? Kok loyo begitu? Come
on, kita sudah mempersiapkan perjalanan ini sejak tiga bulan yang lalu. Kita
akan menjelajahi Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua!” ucap Galih
penuh semangat.
“Batal!” ucapku ketus.
Kepalaku rasanya ngilu tapi masih kumiliki tenaga untuk marah. Kemarahan itu
terpaksa kuletuskan kepada Galih, sementara sebenarnya dalam hati aku
memaki-maki akan ketidak-becusanku menjaga diri sendiri.
“Kau sakit?” selidik
Nugroho yang melihatku loyo, “Well,
kami tidak bisa membatalkan perjalanan ini. Bukan kami tak setia kawan tapi…
kamu tahu kan kami telah banyak menabung untuk perjalanan ini? Batal berakibat
hangusnya tiket pesawat ke Bali. Dan kita sudah berencana untuk menyaksikan
Upacara Hari Raya Nyepi.”
“Aku tahu… pergilah
tanpa aku,” ungkapku kecewa. “Semoga kalau kondisiku lebih baik, aku akan bisa
menyusul. Kalau aku memaksa ikut, aku takut akan merepotkan kalian.”
“Okey, Don. Kami pergi
dulu, nanti kami bawakan oleh-oleh deh.” Galih mengedipkan matanya. Aku mendengus
kecewa.
Kesunyian menyergap. Ketiga
temanku itu pergi bertualang tanpa aku. Liburan yang menyedihkan bagiku! Kusambar
botol obat di meja. Berharap obat itu mampu menurunkan demamku dengan segera
sehingga bisa kususul mereka ke bandara. Tapi setelah minum obat aku mulai
mengantuk.
Cring. Terdengar suara
lonceng. “Ong, gni brahma anglebur panca
maha butha, anglukat sarining merta. mulihankene kite ring betara guru, tumitis
kita dadi manusia mahatama. ong rang sah, prete namah.”
Aku menggeliat. Jantungku
berdegup kencang. Kepalaku makin berdentam-dentam. Samar-samar aku mendengar
suara keras. Aku melonjak bangun begitu menyadari itu ketukan di pintu. Aku
meraba dahiku, demamku turun karena keringat juga membanjiri dahiku. Kulirik
jam di dinding, ternyata baru pukul tiga sore, kukira aku tidur cukup lama. Aku
melangkah ke pintu dan membukanya. Nugroho langsung aja menyeruduk masuk.
“Batal ke Bali juga?” tanyaku
kaget.
“Hei, pesawatnya delay, jadi aku ngebut kesini untuk
menjemputmu, siapa tahu kamu sudah sembuh. Come
on, kamu mau melewatkan Kuta dan Sanur hanya karena sedikit sakit? Kamu
akan sembuh disana. Trust me!”
Kepalaku masih agak
pening, tapi kupaksakan berganti baju lalu menyeret ranselku keluar kamar. Nugroho
langsung menarikku keluar rumah menuju taksi yang sudah terparkir menunggu
kami. Taksi melesat secepat kilat, aku tak ingat lagi apa yang terjadi.
Aku, Galih dan Nugroho berada
di Pura Dalem. Bangunannya menghadap ke barat, berhiaskan ukiran-ukiran yang
indah berbentuk seperti bunga dan tumbuhan. Upacara adat sedang berlangsung, ratusan
orang menonton. Untuk menghormati Upacara kami harus menggenakan ikat kepala
bernama udeng juga berkemeja putih dan berkain Poleng khas Bali. Kain ini
bermotif hitam putih seperti papan catur yang melambangkan keseimbangan antara
baik dan buruk. Kupotret rombongan wanita yang membawa mengusung sesajen
buah-buahan yang ditata menarik di atas kepalanya. Musik Bali seperti Gong mengiringi langkah
mereka.
Lamanya upacara
membuatku lelah, aku duduk di undukan tangga Pura. Menyesali tak sempat menyuap
mulut dengan apapun. Cacing di perutku berkoar-koar. Nugroho dan Galih entah
kemana, susah menemukan mereka di tengah ratusan orang seperti ini. Aku
memencet handphoneku, tapi berkali-kali kutelepon tidak diangkat. Tak jauh dari
Pura ada sebuah area pemakaman dan gerbangnya terbuka. Rasa penasaran mengusik
hatiku, kudengar orang Bali suka meletakkan mayat begitu saja tanpa
menguburkannya atau dibakar dan itu disebut Ngaben. Aku melangkah kesana.
Kuburannya sepi tapi karena siang tidak terlihat menyeramkan. Tak kulihat ada
sesosok mayat diletakkan, seperti kuburan biasa saja. Ada sebuah gundukan tanah
merah basah tanpa jiwa, sepertinya kuburan baru.
Aku merasa letih sekali
dan duduk di sebuah nisan. Aku melepas ranselku dan merogoh-rogoh isinya namun
tak kutemukan makanan. Aku malah menemukan pilox yang biasa kupakai untuk
mencoret-coret kamarku supaya terlihat menarik. Kadang kalau lagi iseng aku dan
teman-temanku mencoret-coret tembok rumah orang atau teman yang kami benci.
Orang menyebutnya vandalisme tapi aku menganggapnya kreativitas. Keisenganku
timbul. Kuburan ini kan dianggap tempat suci, dimana semua orang berakhir disini.
Aku teringat orang yang telah menyakitiku. Kutuliskan namanya di balik nisan. Aku
harap dia merasakan penderitaan seperti yang kurasakan. Aku tersenyum puas.
Angin berhembus agak kencang,
aku menggigil karena tidak mengenakan jaket. Kulihat beberapa orang yang juga
menggenakan Udeng memasuki area pemakaman. Aku cepat-cepat berdiri, karena
terburu-buru aku tersandung ranselku sendiri. Aku terjembab di tanah dan
handphoneku terlempar di dekat kepalaku. Saat mencoba berdiri, aku merasakan
sesuatu mencengkram tanganku, aku susah bergerak. Aku mendongak dan melihat sesosok
wajah menyeramkan dengan mata melotot, gigi yang tajam dan lidah yang panjang.
Aku ingin menjerit tapi tenggorokanku tercekat. Handphoneku berbunyi, tertera
di layar LCD ada nama Nugroho disitu. Aku berusaha meraihnya….tapi gigi tajam mahkluk
itu mulai mendekat ke leherku… aku…
“Arghhh!”
Aku terlonjak bangun. Kepalaku
berdenyut-denyut. Kaosku basah keringat. Aku menatap sekeliling, aku masih
berada di kamarku. Ternyata tadi aku cuma bermimpi, mungkin karena tidur dengan
perasaan kecewa batal berangkat ke Bali aku terbawa bermimpi kesana. Untunglah,
seram sekali tadi mimpiku. Tenggorokanku kering, aku pergi ke dapur, sambil
minum kuraba keningku. Demamku sudah turun tapi badanku rasanya gatal semua.
Aku bergegas mandi.
Setelah bermimpi buruk
aku letih sekali dan tertidur lagi. Celakanya, aku bermimpi lagi tentang sosok
mengerikan itu. Kali ini aku melihat mahkluk itu sedang mengambil organ-organ
tubuh mayat yang diaben. Aku tercekat
ngeri saat mahkluk itu memergokiku sedang menatapnya. Dia membuang jantung
berlumuran darah yang sedang dia remat lalu mengejarku. Aku ketakutan lalu berlari
sekuat tenaga dalam kegelapan.
Oh, God! Aku lega bisa terbangun lagi. Semua terasa begitu nyata! Aku
merasakan kelelahan yang luar biasa berlari-lari di mimpi. Kutatap jam di
dinding. Sudah pukul delapan pagi. Aku pergi ke kamar mandi. Tetesan air dingin
menyejukkan wajahku. Tapi kulitku terasa gatal, kutatap wajahku di cermin, ada
benjolan-benjolan kecil berwarna kemerahan. Tidak hanya di wajah tapi juga di
kedua lenganku. Rasanya gatal dan panas, ingin kugaruk tapi aku takut lecet. Kutahan
keinginanku untuk menggaruk sebisa mungkin, kuambil jaketku lalu kularikan
montorku ke Dokter kulit. Dokter bilang aku bisulan dan memberiku salep juga
obat antibiotik. Dokter juga menasehatiku supaya tidak menggaruknya. Huh, mudah
sekali dia bilang begitu padahal ini gatal sekali!
Sumber gambar : wikipedia |
Rasanya ingin
kupenjarakan hari ini supaya esok tak pernah datang. Dua hari berikutnya aku
masih saja bermimpi tentang mahkluk itu. Sosoknya begitu jelas. Matanya
melotot, kukunya panjang-panjang, gigi taring yang sangat panjang, lidah yang
menjulur sampai kaki dan terdapat banyak bola api diatas lidahnya. Dia juga
membawa kain putih di tangannya. Aku penasaran mahkluk apa itu? Aku browsing di
internet tentang ciri-ciri sosok itu dan melihat gambar mengerikan itu. LEAK!
Mitos hantu dari Bali? Apakah gara-gara kekecewaanku yang begitu dalam karena
batal ke Bali, Leak menghantuiku?
Aku sampai takut untuk
tertidur, Leak itu selalu mengejar-ngejarku dalam mimpi. Dan bisulku pun tak
sembuh-sembuh, bahkan setiap pecah muncul lagi. Aku menelepon Nugroho tentang
ini, dan yang mengejutkan dia pun bermimpi dikejar-kejar Leak. Bagaimana bisa? Padahal
kami tidak berada di tempat yang sama. Keanehan ini menghadirkan banyak
pertanyaan di benakku. Nugroho bermaksud untuk pergi ke tempat Balian, istilah
untuk dukun di Bali. Dan dia memintaku untuk segera menyusul, siapa tahu
bisulku juga karena diguna-guna dan Balian itu bisa menyembuhkannya.
* * *
Aku baru saja
menginjakkan kaki di lantai Bandara Ngurah Rai ketika kulihat Nugroho dan Galih
sudah melambai-lambai dari sekat kaca pemisah antara ruang bagasi dan ruang
tunggu penumpang. Aku memanggul ranselku. Jaket dan celana panjang yang
kukenakan lumayan menutupi bisul-bisulku. Akhirnya aku sampai juga di Pulau
yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu ini.
Kami ke hotel untuk
meletakkan barang-barangku lalu ke Pura. Ini seperti sebuah dejavu. Semua persis di dalam mimpiku.
Pura Dalem ini, Udeng yang kupakai, wanita-wanita yang menjunjung sesajen buah yang
disebut banten di atas kepalanya. Keramaian tempat ini dan… kulayangkan
pandangan ke arah kiri, kulihat area pemakaman dan aku bergidik.
“Katamu kita akan
mencari seorang Balian, kenapa kita malah santai-santai menonton upacara ini?
Bisulku ini sungguh gatal!” desisku kesal.
“Tenang, kawan. Kita
sedang mencari tahu siapa Balian disini. Tak baik menganggu upacara adat,”
bisik Nugroho, menenangkan.
“Maaf, aku tak sengaja
mendengar pembicaraan kalian. Untuk apa kalian mencari seorang Balian?” Sebuah
suara lembut terdengar dari belakang punggung kami.
Seorang gadis cantik
berambut lurus panjang, berkulit kuning langsat mengenakan pakaian adat Bali
menatap kami. Dia memiliki kecantikan yang memikat. Setangkai Bunga Kamboja terselip
di telinganya.
“Begini, kami memiliki
masalah dengan mimpi buruk tentang sosok dari tempat ini. Dan kami ingin
bertanya tentang arti mimpi kami kepada Balian. Oh,ya perkenalkan namaku Donny
dan ini kedua temanku, Nugroho dan Galih,” kataku.
“Namaku Ida Ayu Puspita Sari,
panggil saja Sari. Ayahku seorang Tetua di Pura ini, beliau mempunyai kenalan seorang
Balian. Mungkin beliau bisa membantu kalian.”
Kami sampai di rumahnya
yang dipenuhi hiasan ukiran juga patung-patung, di perkarangan rumah tertanam
banyak tanaman seperti pandan mengitari rumahnya.
“Daun apa itu? Bau dan
bentuknya seperti pandan?” tanyaku.
“Itu memang pandan,
menurut kepercayaan daun pandan bisa menetralisir kekuatan negatif,” jawab Sari.
Sari memperkenalkan kami
kepada Ayahnya. Dan kami segera menjelaskan tentang mimpi-mimpi kami. Ayah Sari
mengangguk-angguk lalu menyuruh seseorang memanggil Balian. Kepada Balian itu
kami menceritakan kembali tentang mimpi-mimpi kami dikejar-kejar sosok Leak.
Aku juga menunjukkan bisul-bisulku kepada Balian itu.
“Apa kamu melanggar
sesuatu selama di Bali ini?” tanya Balian.
“Saya baru sampai di
Bali pagi ini, tapi bisul ini sudah berlangsung sekitar tiga hari. Sebelum itu
saya sempat demam. Sejak itu juga saya bermimpi dikejar-kejar Leak.”
“Kami di Bali masih
menghormati budaya leluhur dan kecintaan pada alam. Maka banyak pantangan yang
kami anut. Kamu yakin tidak melakukan apapun, meskipun di dalam mimpi?” tanya
Balian itu tajam.
Aku menggigit bibir lalu
menggaruk bisul di lenganku. Sejak sampai di Bali ini, bisul ini semakin panas
dan gatal. Aku melirik Nugroho dan Galih sebelum menjawab.
“Sebenarnya… di dalam mimpi
saya hanya mencoret-coret sebuah nisan di kuburan. Lalu tiba-tiba Leak itu
mendatangi saya… dan…”
“Batas antara dunia
mimpi dan nyata itu amat tipis,” potong Balian. “Kadang saat di dunia nyata
kita ingin melakukan sesuatu maka hasrat itu akan terbawa di alam mimpi dan
terwujud disana. Begitu pula kalau kita melakukan kejahatan di dunia mimpi,
bisa jadi di dunia nyata kita akan mewujudkannya. Saat kita membayangkan
sesuatu baik di nyata maupun di mimpi, kita telah membuka diri untuk
melaksanakannya.”
“Baiklah, malam ini
kalian boleh menginap di rumah saya. Karena tengah malam nanti kita akan adakan
upacara pengusiran supaya kalian tidak diganggu Leak di dalam mimpi lagi,” ucap
Tetua.
“Terima kasih,” ucapku
senang meski agak takut. Apa yang akan mereka lakukan padaku?
“Nanti sediakan garam,
bawang putih, bawang merah, cabe, kunyit, semua dimasukkan ke kantung untuk
digantung di leher dan di atas pintu rumah ini,” ucap Balian. Tetua dan Sari
mengangguk patuh.
“Ha, takhayul banget,
mendingan buat masak,” celutuk Nugroho. Kusikut dia sambil kupelototi. Aku tak
peduli meskipun Balian itu menyuruhku makan kodok sekalipun akan kujalani asal
aku terbebas dari bisul ini dan mimpi buruk tentang Leak itu.
Balian itu hanya
tersenyum, tak nampak tersinggung dengan ucapan skeptis Nugroho. Mungkin dia
sudah menguasai ilmu kesabaran tingkat tinggi.
* * *
Malam tiba dengan cepat
namun kehilangan kecemerlangannya. Langit kelam, tanpa bintang seperti sebuah
pertanda akan ada kekelaman yang menutupi. Aura mistis melingkupi Pura. Aku
bergidik merapatkan jaket, berdiri di depan rumah Sari.
Beberapa saat kemudian
kami semua berkumpul di setra atau kuburan. Aku, Nugroho dan Galih berjejeran
rapat. Sementara Balian, Tetua, Pemangku Adat dan beberapa asistennya berdiri
mengelilingi kami. Bunga-bunga ditaburkan di sekitar kami.
“Dalam kehidupan selalu
ada keseimbangan, ada hitam pasti ada putih, siang dan malam. Dan bila ada
kejahatan pastilah ada kebaikan. Itulah yang disebut Rwa Bhineda. Leak berasal
dari legenda Calon Arang, sebenarnya Leak bisa ditujukan untuk perbuatan baik,
sayang telah banyak orang menyalahgunakannya sehingga Leak berubah menjadi
layaknya monster yang ditakuti banyak orang.”
“Sekarang, lebih baik Bli
memikirkan tentang kebencian Bli pada seseorang. Lebih baik kebencian itu
dilepaskan, selain itu adalah racun bagi tubuh, itu juga mengundang datangnya
Leak. Leak selalu menyukai aura gelap dalam diri seseorang dan berusaha
merangkulnya untuk ikut dengannya. Dalam ajaran kami, rasa sakit yang Bli
rasakan hanyalah kesempatan untuk membayar utang karma di kehidupan sebelumnya,
jadi terima itu sebagai ujian, bukan sebagai hukuman,” ucap Pak Mangku yang
berpakaian serba putih berdiri di tengah lingkaran. Beliau membawa lonceng, di
sebelahnya asistennnya membawa dian kecil dan kendi.
Aku tersentak. Pak
Mangku seperti bisa membaca isi hatiku. Ah, Lia! Dia yang membuatku menggila mabuk
kepayang lalu bermain-main dengan hatiku. Memilih sosok tegap yang lain. Mengingat
Lia rasanya seperti menggarami luka, perih. Dia yang telah mengkhianati cinta
kami dengan memilih lelaki pilihan orang tuanya. Bisakah kumaafkan? Demi
melupakan mata itu, sosok itu yang telah mencampakkanku serupa kain kumal yang
telah sobek dan bau.
“Kesabaran mendalam,
baik hati dan selalu tersenyum pada apapun yang terjadi,” Tetua menambahkan,
“itulah hal yang bisa membantu kita menghadapi segala penderitaan apapun. Lalu
berdoalah menurut kepercayaanmu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu Tuhan yang
Maha Kuasa.”
“Dimahi, dhiyo yo nah pracodayat (Kami
bermeditasi kepada cahaya realitas mahasuci, yang merupakan dasar dari tiga
macam alam semesta. Semoga pikiran kami dicerahkan). Om visvani deva savitar, duritani para suva, yad bhadram tanna a suva
(Brahman sebagai cahaya realitas mahasuci, jauhkanlah segala energi jahat
dan berkahi kami dengan yang terbaik).” Pemangku mengucapkan mantera dan
menabur bunga di sekitar tubuhku, sementara asistennya membakar dupa.
Saat mantera dibacakan,
rasanya rasa gatalku semakin menjadi-jadi, aku kehilangan kontrol pada tubuhku
sendiri, kurasakan tubuhku menghentak-hentak. Jiwaku seperti terangkul dalam
aura kematian…
“Don!” Kurasakan Nugroho
dan Galih mencoba menenangkan tubuhku yang rasanya menggelepar-lepar kepanasan.
Aku merasakan kegelapan memelukku begitu kuat.
Ah, dia mengejarku lagi!
Aku berlari tersuruk-suruk dalam kegelapan, tapi kurasakan ada orang di sisi
kanan dan kiriku. Nugroho dan Galih ikut berlari bersamaku. Dan… aku menjerit
ngeri. Ada mahkluk lainnya berhadapan
dengan Leak. Sosoknya seperti singa dan juga ada Balian yang duduk bersila,
dari kedua telapak tangannya mengeluarkan bola api.
“Jangan berlari lagi!
Kemarilah!” perintah Balian itu kepada kami. “Ketakutan untuk dihadapi bukan
untuk dihindari. Mari kita bantu Barong menghadapi Leak!”
Kami menghentikan
langkah kami berlari dan ragu-ragu mendekat. Terlihat Barong berusaha melawan
Leak. Balian memerintahkan kami turut bersila bersamanya.
“Pejamkan mata kalian
dan rasakan energi alam di sekitar kalian. Fokus pada telapan tangan kalian dan
bayangkan sebuah bola api, rasakan energinya.”
Oh, aku merasakan kedua
telapak tanganku panas. Sedikit pedih! Kubuka mataku perlahan dan kulihat
sebuah bola api berwarna merah kekuningan terbentuk di kedua tanganku. Aku agak
ketakutan bola api ini akan membakarku
menjadi abu.
“Tidak apa, bola api itu
hanya pancaran energi darimu. Kalau kita gabungkan semoga kita mampu melawan
Leak itu, dan Bli tidak dihantui Leak lagi. Sekarang, fokuskan bola api pada
Leak itu,” perintah Balian.
Aku, Nugroho dan Galih
saling berpandangan, merasakan panas bola api di tangan kami masing-masing. Tapi
kami tak punya pilihan lain, kami berusaha melontarkan bola api itu tepat pada Leak.
Tapi ah, meleset! Nyaris mengenal Barong kalau saja Barong itu tidak berkelit
dengan gesit. Balian memerintahkan Barong untuk menyingkir sementara aku
berusaha lagi berkonsentrasi menciptakan bola api.
“Energi kemarahan,
kekecewaan dan kebencian adalah energi yang amat besar. Kumpulkan itu di
telapak tanganmu dan buanglah ke arah Leak. Supaya tak tersisa lagi energi
negatif di dalam dirimu,” ucap Balian.
Ah, aku telah melampaui
malam yang panjang dan melelahkan untuk mengingat kekecewaanku dan rasa sakit
hatiku. Pada suatu titik kesadaran aku ingin terlepas, namun bayangnya enggan
pergi. Dia terlalu kuat mengikatku dalam suatu khayalanku bahwa suatu saat dia
akan kembali padaku. Lelah! Aku ingin melupakannya, memaafkannya. Aku hanya
ingin beristirahat dalam kedamaian mimpi dan tidak dihantui mimpi buruk.
“Arghh, cepat!” Kulihat
leher Balian dibelit lidah panjang Leak. Aku tercekat ngeri. Bagaimana kalau
kulemparkan dan mengenai Balian?
“Fok-k-u-s saja!” ucap
Balian di tengah nafasnya yang tercekik.
Aku berusaha
berkonsentrasi, mencoba mempercayai Balian akan mampu melepaskan diri. Sebuah
bola api sebesar bola basket terbentuk di tanganku. Kulemparkan ke arah sosok
Leak dengan sekuat tenaga. Bola api melesat dengan cepat. Sebelum bola apiku
sampai, Balian melibas lidah Leak dengan kerisnya. Bola Apiku mengenai Leak dan
membakarnya. Dengan cepat Balian menusuk leher Leak itu sehingga kepalanya
terpisah dari tubuhnya. Lalu membakar kepala Leak dengan bola apinya. Maka
matilah Leak itu. Hangus, tak tersisa… Sisi gelap dari diriku turut lebur…
* * *
Ditulis : 23 Agustus – 06 September 2011
Dikirim : Rabu, 14 September 2011
Masuk Nominasi Lomba LMCR-Rohto : Pemenang Karya Favorit No. 44 dari 200
http://www.rayakultura.net/2011/10/nama-pemenang-lmcr-2011-kategori-c/