Saturday, November 16, 2013





A.L
 Lidya Renny Chrisnawaty


Tiga Hukum Robot pertama kali diperkenalkan secara lengkap pada tahun 1942 dalam cerita pendek “Runaround”, yang menyatakan sebagai berikut: Pertama, robot tidak boleh melukai manusia. Kedua, robot harus mematuhi perintah yang diberikan oleh manusia kecuali bila perintah tersebut bertentangan dengan Hukum Pertama.
Sebuah Skyboat mendarat mulus di halaman sebuah gedung berbentuk kerucut bertuliskan Institut Technology dan Robotika Yogyakarta City. Seorang pria berambut jabrik bercat keunguan meloncat turun. Dia berlari masuk ke dalam gedung Robotics Learning Centre. Di pintu gedung dia dihadang oleh dua buah robot animoid berbentuk anjing. Leo, nama pria itu menempelkan telapak tangannya di  kepala robot itu. Pintu kaca gedung terbuka lebar.
“Hai, Leo!” Alex, pria berambut pirang menyapanya.

“Hai,” Leo langsung merangkul bahu Alex. “Ntar malem kita ke café Silence, oke?”
“Aduh,” Alex menggaruk rambutnya. “Jangan nanti malem deh. Aku ada acara nih.”
“Acara apaan? Kok aku nggak diajak?” Leo merengut.
“He.. he.. he..” Alex meringis malu. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik saku seragamnya.
“Oh. Apaan tuh?” Leo berusaha merebut kotak itu dari Alex.
Tapi Alex menangkis tangan Leo dan tertawa. “Sebuah kalung,” katanya.
“Ough. Coba aku tebak. Hmmm…” Leo tampak memikirkan sesuatu. “Oh! Hari ini kamu dan Airin akan merayakan hari jadian kalian, dan kalung itu hadiah untuk dia!” Dia menyeringai, tampak puas dengan tebakannya.
“Ting tong! Tepattt sekaliiii! Anda menang hadiah liburan ke Jakarta Aero City. Tapi kumpulnya di Golden Monas. Hahaha.”
“Huuuuu, dasar!” Leo pura-pura hendak menjitak kepala Alex.
Bruk! “Aduh.” Seseorang tak sengaja beradu bahu dengan Alex. Pria itu hanya menoleh dan menatap Leo dengan tatapan dingin lalu berlalu begitu saja.
“Hei! Minta maaf dulu kenapa!” teriak Leo sebal.
“Udahlah, aku nggak kenapa-kenapa.” Alex sedikit mengelus bahunya.
* * *
Pintu baja Labotarium Android bertuliskan ‘Dilarang masuk. Wilayah berbahaya.’ Di dalamnya seorang pria setengah baya sedang duduk di depan komputer berlayar sentuh. Ruangan itu cukup luas. Ada beberapa tabung kaca besar berisi beberapa android yang sedang dikembangkan. Android adalah robot yang didesain menyerupai manusia dan mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan manusia. Selang-selang terpasang di kepala dan seluruh tubuh android itu. Ada kabel-kabel yang menghubungkan antara tabung kaca itu dengan beberapa komputer yang terletak di sebuah meja kaca panjang.
Pria itu menyentuh touchscreen dengan jari telunjuknya. Menekan angka-angka. Terlihat seperti kode-kode yang rumit. Seringai penuh kemenangan terbias di wajahnya saat layar menampilkan tulisan ‘access granted’.
Pria itu terkekeh. “Sebentar lagi, ada terjadi kekacauan di gedung ini.”
* * *
“Beberapa robot canggih disebut androids karena kemiripan dangkal mereka dengan manusia. Androids yang mobile, biasanya bergerak di atas roda atau mempunyai kaki. Inilah yang sedang dikembangkan oleh Labotarium kita. Meski Android ini belum tentu titik akhir dari evolusi robot. Di tingkat akhir nanti kita akan mempelajari cara membuat dan memprogram robot ini,” Profesor Arman memulai kuliahnya.
“Sippp,” teriak para siswa senang. Sudah lama mereka ingin segera praktek membuat android.
“Menurutmu android apa yang asik dibuat?” bisik Alex kepada Leo.
“Tentu saja android wanita yang cantik dan sexy!” tukas Leo cepat.
“Sudah kuduga.” Alex mengangkat alisnya.
Alarm tanda bahaya berbunyi. Semua siswa tersentak.
“Kalian semua tetap disini, jangan ada yang keluar,” perintah Profesor Arman. Pria berjenggot putih itu keluar dari ruangan kelas. Semua siswa saling bertatapan bingung.
Alex beranjak dari kursinya dan menuju pintu keluar.
“Alex!” Leo berusaha mencegah namun Alex sudah berlari keluar. Di luar kelas suasana kacau. Campus Police berseliweran dengan membawa senjata. Wajah mereka semua tampak panik.
“Ada apa, Prof?” tanya Leo kepada Profesor Felix.
“Kalian kembalilah ke ruangan kelas! Terlalu berbahaya di luar sini!”
“Tapi Prof, kami ingin tahu ada apa dan…
Bzzzzzz!! Brukkk!!
Leo menoleh ke asal suara itu. Jantungnya nyaris berhenti. Dia tidak percaya pada apa yang dia lihat. Alex yang berada tak jauh dari tempat dia berdiri perlahan roboh ke lantai. Dan seorang pria bertubuh besar yang membawa senjata laser menatapnya tanpa ekspresi. Pria itu meloncat keluar dari jendela dan terjun ke bawah.
“ALEXXX!!” Leo berlari menghambur mengangkat Alex yang tersungkur di lantai.
“Leo… ak-aku…” Darah mengalir dari dada Alex dan sela-sela bibirnya. Wajahnya mulai memucat dan badannya terasa dingin.
Leo menggenggam tangan Alex.”Sudahlah, jangan bicara dulu. Kami akan menyelamatkanmu,” ucapnya dengan bibir bergetar.
Alex tersenyum tipis. “Su-sudah ter-lam-bat…”Dia mengambil kotak dari dalam saku seragamnya dan memberikannya kepada Leo. “Tol-tolong ber-berikan kepada Ai-airin, dan-uhuk.” Dia memuntahkan darah.
Leo menangis. “Alex… bertahanlah…”
“Ka-katakan aku men-cin-cintainya, ter-terima kasih, Leo, sa-sahabatku…” Perlahan kelopak mata Alex tertutup.  
Tiga hari setelah pemakaman Alex, Leo termenung di sudut taman kampus. Semua temannya memandang iba kepadanya, tapi tak ingin mengusiknya. Mereka tahu pasti Alex dan Leo sudah bersahabat sejak kecil dan mereka tahu betapa Leo sangat kehilangan atas terbunuhnya Alex.
Leo memandang  sebuah gantungan kunci perak berbentuk bintang. Dia memutar-mutar gantungan kunci itu. Di tengah ada ukiran A.L. Inisial dari nama Alex dan Leo. Gantungan itu mereka buat di Malioboro. Leo teringat ucapan Alex sebulan yang lalu.
“Kita kayak orang pacaran aja bikin gantungan kunci dengan inisial nama kita ini,” keluh Leo.
“Hahaha, sorry, bro. Aku masih normal dan punya cewek cantik. Ini hanya sebagai lambang persahabatan kita aja. Sebagai pengingat kalo suatu saat kita berpisah.”
Leo tersentak. “Maksudmu?”
“Yah,” Alex menggaruk kepalanya. “Siapa tahu salah satu dari kita bisa mendapatkan beasiswa meneruskan S2 Robotika di Jepang?”
Leo menggenggam gantungan kunci itu erat. Kedua bola matanya berkaca-kaca.
“Ternyata kita berpisah selama-lamanya…” bisik Leo. Tidak! Aku tidak rela Alex terbunuh! Aku harus menghancurkan android itu!! Dia beranjak cepat dari taman dan menuju ruangan Profesor Felix, kepala bidang keamanan di universitas itu.
“Prof, tolong tugaskan saya untuk menghancurkan android itu,” pinta Leo. “Saya bersedia masuk ke tim relawan Campus Police.”
“Leo, saya tahu apa maksud dan tujuan kamu. Tapi kami sudah punya tenaga keamanan terlatih untuk menangkap android itu. Terlalu berbahaya bagi kamu yang hanya mahasiswa biasa. Kami tidak mau ada korban lagi dalam peristiwa lepasnya android itu. Serahkan saja semua pada kami. Saya turut berduka cita atas meninggalnya Alex. Sungguh, saya mengerti perasaanmu.” Profesor Felix memandang Leo prihatin.
“Tidak. Profesor tidak tahu apa yang saya rasakan! Saya mohon, ijinkan saya ikut dalam tugas itu!”
“Leo… perasaan yang kamu rasakan saat ini adalah dendam. Dan itu akan membuatmu melakukan tindakan gegabah yang bisa melukai dirimu sendiri dan tim kami. Sudahlah, kembali ke kelas! Serahkan semua pada kami!” perintah Profesor yang tinggi besar itu.
Leo memandang Profesor Felix penuh kekecewaan. Dia berlalu dari ruangan itu dengan perasaan terluka. Sepulang kuliah, Leo menuju rumah Airin. Rumah itu berbentuk lingkaran bertingkat tiga. Saat Leo memencet bel, Airin langsung menyambutnya dengan tangisan. Leo memeluk Airin yang sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri. Diberikannya kotak dari Alex.
“Alex ingin memberikannya saat hari jadian kalian, dan terakhir dia bilang dia amat mencintaimu, Airin.”
Airin membuka kotak itu lalu menangis.
“Perhatian bagi warga masyarakat diminta berhati-hati. Menurut informasi yang kami terima, android yang kabur dari Institut telah berada di pusat kota.” Televisi di rumah Airin menginformasikan keberadaan android itu.
“Aku harus membalas dendam atas kematian Alex!” Leo bergegas pergi. Teriakan Airin yang mencegahnya tidak digubrisnya. Dipacunya Skyboatnya melayang diangkasa secepat mungkin. Dia berhenti di apartemennya yang terletak di lantai empat belas. Dia turun dan mengambil sebuah kotak besi di bawah tempat tidurnya. Disusunnya sebuah senjata laser panjang dan dipakainya rompi anti peluru. Ternyata senjata yang pernah dia beli secara ilegal itu sekarang berguna. Dia melesat lagi dengan Skyboatnya menuju pusat kota.
Keadaan di pusat kota saat ini lenggang. Tak ada warga yang berani keluar. Dan polisi pun sudah mengosongkan semua wilayah kota. Televisi yang menginformasikan secara live membuat mereka ketakutan. Android itu sudah lepas kontrol. Seorang polisi sudah terbunuh saat berusaha menangkap android itu. Android  itu benar-benar seperti mesin pembunuh.
Leo menyetir skyboatnya rendah, mengawasi keadaan di bawah. Disetelnya televisi di dalam skyboatnya. Gambar menayangkan tentang android itu. Sosok besar dan berwajah dingin. Leo memandang penuh amarah pada layar televisi di hadapannya itu. Dicengkramnya setir kuat-kuat lalu melayang turun ke bawah. Dia memarkir skyboatnya pelan di balik tembok sebuah gedung. Dipersiapkannya radar pendekteksi android yang dia curi dari laborarium dan senjata lasernya. Dia tampak tegang mengawasi sekitar.
Sepuluh menit kemudian radarnya berkedip-kedip merah. Tanda mendekteksi keberadaan mesin yang terbalutkan fiber itu. Leo bersiap. Raut wajahnya menegang. Dia belum berpengalaman menghadapi android. Dia tahu dia bisa saja terbunuh juga. Tapi saat ini ingin rasanya dia meledakkan dirinya saja bersama android itu!
Android itu melangkah pelan. Kedua matanya mengawasi sekitar dengan wajah tanpa ekspresi. Senjata laser dipanggulnya di pundak.
Akan kuhancurkan kamu berkeping-keping! Leo melesat keluar dari persembunyiannya tapi lengannya ditarik seseorang. Dia tersentak kaget dan menoleh. Ada seorang gadis cantik menatapnya sedih.
“Jangan… kamu bisa terbunuh…”
“Siapa kamu?”
“Aku Nivea, aku diutus Profesor Felix untuk mencegahmu melakukan tindakan bodoh!”
Leo mengeram. “Kalo begitu sia-sia saja, karena aku tetap akan menghancurkan android itu dengan tanganku sendiri!” Dilepaskannya tangan Nivea dari lengannya dengan kasar.
Nivea terdiam. Menatap bola mata Leo yang bersinar penuh dendam.
“Kalo begitu, aku akan membantumu…” kata gadis berambut sebahu itu lirih.
“Apa?” Leo tersentak. Menatap gadis itu tak mengerti. Kenapa gadis ini tiba-tiba mau mempertaruhkan nyawa untuk membantunya?
“Seperti yang kamu ketahui, tak akan mudah menghancurkan android itu. Lapisan kulit fibernya telah diperkuat tahan pada peluru.”
“Tapi bagaimana caranya menghancurkan dia? Dia Automatic Robot yang bergerak berdasarkan perintah-perintah yang telah diprogramkan sebelumnya. Bagaimana cara membatalkan programnya?”
“Ingat, dia memang humanoid, mesin tiruan manusia tapi dia bukan manusia. Dia hanya mesin,” ucap Nieva sambil tersenyum tipis. “Pasti ada kelemahan yang bisa mematikan dia tanpa menghancurkannya.”
“Apa?”
 Nivea hanya tersenyum.
* * *

Suasana kota lenggang, nyaris seperti kota mati. Dalam radius 200 km dari Universitas telah dinyatakan wilayah berbahaya karena kaburnya android itu. Sampai android itu berhasil ditangkap, semua warga diharap tidak keluar dari rumah. Tim khusus berbaju anti peluru dan bersenjata laser telah dikerahkan. Bertebaran di seisi kota. Tapi itu pun tak mengubah niat Leo untuk membatalkan niatnya menghancurkan android yang telah membunuh sahabatnya.
Leo dan Nivea mengendap-endap. Mereka menggenggam erat senjata laser. Dengan alat sensor gerak yang dipegang Nivea mudah bagi mereka menemukan keberadaan android itu. Androd itu berdiri dengan pongahnya di atas sebuah Gedung.
“Ingat, Leo. Asal kamu bisa memukul android itu sampai terjembab, aku akan bisa mengambil chip yang berada di lehernya.”
Leo mengangguk mantap. Dia sudah mengenakan baju baja dan pistol laser. Dia yakin bisa menjatuhkan android itu. Dengan sabuk hitam yang disandangnya, android yang kaku itu tak akan bisa mengalahkan kegesitannya berkarate. Dalam sepuluh menit mereka telah sampai di puncak gedung. Android menoleh ke arah mereka dan menatap dingin. Mengarahkan senapan yang dipegangnya ke arah mereka. Leo dan Nivea berlari menghindari. Mereka bersembunyi di balik tembok.  Android itu dilengkapi oleh sensor gerak, jadi Leo dan Nivea sedapat mungkin tidak bergerak.
Setelah android itu berada di dekat mereka, Leo melompat dan menubruk android itu. Nivea langsung memukul kepala android, mengingat Leo tak akan kuat menahan android bertubuh besar itu lebih lama lagi.
Nivea menekan leher android itu dan keluarlah sebuah chip yang membuat android itu jadi tidak bergerak. Tapi kebencian dan amarah menguasai Leo, dia memukuli android itu sampai kulit wajahnya terkelupas dan menampakkan mesin berlilitkan kabel-kabel.
“Leo, hentikan!” cegah Nivea.
Tim khusus universitas berdatangan dan membawa android itu.
* * *
Leo menghirup aroma segar bunga mawar lalu menaburkannya di makam Alex. Airmatanya menetes.
“Leo… apa kamu juga akan membenciku kalo tahu yang sebenarnya?” Sorot mata Nivea tampak sedih.
“Kenapa aku akan membencimu?” Leo menoleh dan menghapus airmatanya.
“Aku sebenarnya harus merahasiakan ini, tapi aku tak bisa membohongimu.” Nivea mengambil sebuah pisau dari saku kirinya dan menggoreskannya pada lengannya yang mulus.
Hukum Ketiga, robot harus melindungi keberadaan dirinya sendiri.
“Nivea!” Leo tersentak melihat isi lengan Nivea adalah lilitan kabel-kabel bukan daging dan tulang yang dialiri oleh darah.
“Maaf, Leo… aku juga adalah android. Aku android yang diciptakan untuk melindungi dan mencintai.  Dan android yang memiliki emosi seperti manusia. Aku ciptaan Profesor Arman. Manusia tiruan yang sempurna. Dan aku mencintaimu, Leo…”
Leo merasa limbung.
* * *
Ditulis               :  03 Desember 2010
Dikirim             : Minggu, 03 April 2011
Konfirmasi        : Senin, 05 september 2011
Dimuat di Majalah Story           : Edisi Edisi 26 Th III/25 September-24 Oktober 2011

Teh Hijau Kepala Djenggot

          Dulu aku adalah penggemar soda yang berwarna biruuu. Aku juga suka minum apa saja, kayak teh, kopi, jus, pokoknya minuman yang man...