A.L
Lidya Renny Chrisnawaty
Tiga
Hukum Robot pertama kali diperkenalkan secara lengkap pada tahun 1942 dalam
cerita pendek “Runaround”, yang menyatakan sebagai berikut: Pertama, robot
tidak boleh melukai manusia. Kedua, robot harus mematuhi perintah yang
diberikan oleh manusia kecuali bila perintah tersebut bertentangan dengan Hukum
Pertama.
Sebuah Skyboat mendarat
mulus di halaman sebuah gedung berbentuk kerucut bertuliskan Institut Technology
dan Robotika Yogyakarta City. Seorang pria berambut jabrik bercat keunguan
meloncat turun. Dia berlari masuk ke dalam gedung Robotics Learning Centre. Di
pintu gedung dia dihadang oleh dua buah robot animoid berbentuk anjing.
Leo, nama pria itu menempelkan telapak tangannya di kepala robot itu. Pintu kaca gedung terbuka
lebar.
“Hai, Leo!” Alex, pria berambut
pirang menyapanya.
“Hai,” Leo langsung
merangkul bahu Alex. “Ntar malem kita ke café Silence, oke?”
“Aduh,” Alex menggaruk
rambutnya. “Jangan nanti malem deh. Aku ada acara nih.”
“Acara apaan? Kok aku
nggak diajak?” Leo merengut.
“He.. he.. he..” Alex meringis
malu. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik saku seragamnya.
“Oh. Apaan tuh?” Leo
berusaha merebut kotak itu dari Alex.
Tapi Alex menangkis
tangan Leo dan tertawa. “Sebuah kalung,” katanya.
“Ough. Coba aku tebak.
Hmmm…” Leo tampak memikirkan sesuatu. “Oh! Hari ini kamu dan Airin akan
merayakan hari jadian kalian, dan kalung itu hadiah untuk dia!” Dia menyeringai,
tampak puas dengan tebakannya.
“Ting tong! Tepattt
sekaliiii! Anda menang hadiah liburan ke Jakarta Aero City. Tapi kumpulnya di Golden
Monas. Hahaha.”
“Huuuuu, dasar!” Leo
pura-pura hendak menjitak kepala Alex.
Bruk! “Aduh.” Seseorang
tak sengaja beradu bahu dengan Alex. Pria itu hanya menoleh dan menatap Leo
dengan tatapan dingin lalu berlalu begitu saja.
“Hei! Minta maaf dulu
kenapa!” teriak Leo sebal.
“Udahlah, aku nggak
kenapa-kenapa.” Alex sedikit mengelus bahunya.
* * *
Pintu baja Labotarium
Android bertuliskan ‘Dilarang masuk. Wilayah berbahaya.’ Di dalamnya seorang
pria setengah baya sedang duduk di depan komputer berlayar sentuh. Ruangan itu
cukup luas. Ada beberapa tabung kaca besar berisi beberapa android yang sedang
dikembangkan. Android adalah robot yang didesain menyerupai manusia dan
mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan manusia. Selang-selang terpasang
di kepala dan seluruh tubuh android itu. Ada kabel-kabel yang menghubungkan
antara tabung kaca itu dengan beberapa komputer yang terletak di sebuah meja
kaca panjang.
Pria itu menyentuh
touchscreen dengan jari telunjuknya. Menekan angka-angka. Terlihat seperti
kode-kode yang rumit. Seringai penuh kemenangan terbias di wajahnya saat layar
menampilkan tulisan ‘access granted’.
Pria itu terkekeh.
“Sebentar lagi, ada terjadi kekacauan di gedung ini.”
* * *
“Beberapa robot canggih
disebut androids karena kemiripan dangkal mereka dengan manusia. Androids yang
mobile, biasanya bergerak di atas roda atau mempunyai kaki. Inilah yang sedang
dikembangkan oleh Labotarium kita. Meski Android ini belum tentu titik akhir
dari evolusi robot. Di tingkat akhir nanti kita akan mempelajari cara membuat
dan memprogram robot ini,” Profesor Arman memulai kuliahnya.
“Sippp,” teriak para
siswa senang. Sudah lama mereka ingin segera praktek membuat android.
“Menurutmu android apa
yang asik dibuat?” bisik Alex kepada Leo.
“Tentu saja android
wanita yang cantik dan sexy!” tukas Leo cepat.
“Sudah kuduga.” Alex
mengangkat alisnya.
Alarm tanda bahaya
berbunyi. Semua siswa tersentak.
“Kalian semua tetap
disini, jangan ada yang keluar,” perintah Profesor Arman. Pria berjenggot putih
itu keluar dari ruangan kelas. Semua siswa saling bertatapan bingung.
Alex beranjak dari
kursinya dan menuju pintu keluar.
“Alex!” Leo berusaha
mencegah namun Alex sudah berlari keluar. Di luar kelas suasana kacau. Campus
Police berseliweran dengan membawa senjata. Wajah mereka semua tampak panik.
“Ada apa, Prof?” tanya Leo
kepada Profesor Felix.
“Kalian kembalilah ke
ruangan kelas! Terlalu berbahaya di luar sini!”
“Tapi Prof, kami ingin
tahu ada apa dan…
Bzzzzzz!! Brukkk!!
Leo menoleh ke asal
suara itu. Jantungnya nyaris berhenti. Dia tidak percaya pada apa yang dia
lihat. Alex yang berada tak jauh dari tempat dia berdiri perlahan roboh ke
lantai. Dan seorang pria bertubuh besar yang membawa senjata laser menatapnya
tanpa ekspresi. Pria itu meloncat keluar dari jendela dan terjun ke bawah.
“ALEXXX!!” Leo berlari
menghambur mengangkat Alex yang tersungkur di lantai.
“Leo… ak-aku…” Darah
mengalir dari dada Alex dan sela-sela bibirnya. Wajahnya mulai memucat dan
badannya terasa dingin.
Leo menggenggam tangan
Alex.”Sudahlah, jangan bicara dulu. Kami akan menyelamatkanmu,” ucapnya dengan
bibir bergetar.
Alex tersenyum tipis.
“Su-sudah ter-lam-bat…”Dia mengambil kotak dari dalam saku seragamnya dan
memberikannya kepada Leo. “Tol-tolong ber-berikan kepada Ai-airin, dan-uhuk.” Dia
memuntahkan darah.
Leo menangis. “Alex… bertahanlah…”
“Ka-katakan aku
men-cin-cintainya, ter-terima kasih, Leo, sa-sahabatku…” Perlahan kelopak mata Alex
tertutup.
Tiga hari setelah
pemakaman Alex, Leo termenung di sudut taman kampus. Semua temannya memandang
iba kepadanya, tapi tak ingin mengusiknya. Mereka tahu pasti Alex dan Leo sudah
bersahabat sejak kecil dan mereka tahu betapa Leo sangat kehilangan atas
terbunuhnya Alex.
Leo memandang sebuah gantungan kunci perak berbentuk bintang.
Dia memutar-mutar gantungan kunci itu. Di tengah ada ukiran A.L. Inisial dari nama
Alex dan Leo. Gantungan itu mereka buat di Malioboro. Leo teringat ucapan Alex
sebulan yang lalu.
“Kita kayak orang
pacaran aja bikin gantungan kunci dengan inisial nama kita ini,” keluh Leo.
“Hahaha, sorry, bro.
Aku masih normal dan punya cewek cantik. Ini hanya sebagai lambang persahabatan
kita aja. Sebagai pengingat kalo suatu saat kita berpisah.”
Leo tersentak.
“Maksudmu?”
“Yah,” Alex menggaruk
kepalanya. “Siapa tahu salah satu dari kita bisa mendapatkan beasiswa
meneruskan S2 Robotika di Jepang?”
Leo menggenggam
gantungan kunci itu erat. Kedua bola matanya berkaca-kaca.
“Ternyata kita berpisah
selama-lamanya…” bisik Leo. Tidak! Aku tidak rela Alex terbunuh! Aku harus
menghancurkan android itu!! Dia beranjak cepat dari taman dan menuju ruangan
Profesor Felix, kepala bidang keamanan di universitas itu.
“Prof, tolong tugaskan
saya untuk menghancurkan android itu,” pinta Leo. “Saya bersedia masuk ke tim
relawan Campus Police.”
“Leo, saya tahu apa
maksud dan tujuan kamu. Tapi kami sudah punya tenaga keamanan terlatih untuk
menangkap android itu. Terlalu berbahaya bagi kamu yang hanya mahasiswa biasa. Kami
tidak mau ada korban lagi dalam peristiwa lepasnya android itu. Serahkan saja
semua pada kami. Saya turut berduka cita atas meninggalnya Alex. Sungguh, saya
mengerti perasaanmu.” Profesor Felix memandang Leo prihatin.
“Tidak. Profesor tidak
tahu apa yang saya rasakan! Saya mohon, ijinkan saya ikut dalam tugas itu!”
“Leo… perasaan yang
kamu rasakan saat ini adalah dendam. Dan itu akan membuatmu melakukan tindakan
gegabah yang bisa melukai dirimu sendiri dan tim kami. Sudahlah, kembali ke
kelas! Serahkan semua pada kami!” perintah Profesor yang tinggi besar itu.
Leo memandang Profesor
Felix penuh kekecewaan. Dia berlalu dari ruangan itu dengan perasaan terluka. Sepulang
kuliah, Leo menuju rumah Airin. Rumah itu berbentuk lingkaran bertingkat tiga. Saat
Leo memencet bel, Airin langsung menyambutnya dengan tangisan. Leo memeluk
Airin yang sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri. Diberikannya kotak dari
Alex.
“Alex ingin
memberikannya saat hari jadian kalian, dan terakhir dia bilang dia amat
mencintaimu, Airin.”
Airin membuka kotak itu
lalu menangis.
“Perhatian bagi warga
masyarakat diminta berhati-hati. Menurut informasi yang kami terima, android
yang kabur dari Institut telah berada di pusat kota.” Televisi di rumah Airin
menginformasikan keberadaan android itu.
“Aku harus membalas
dendam atas kematian Alex!” Leo bergegas pergi. Teriakan Airin yang mencegahnya
tidak digubrisnya. Dipacunya Skyboatnya melayang diangkasa secepat mungkin. Dia
berhenti di apartemennya yang terletak di lantai empat belas. Dia turun dan mengambil
sebuah kotak besi di bawah tempat tidurnya. Disusunnya sebuah senjata laser
panjang dan dipakainya rompi anti peluru. Ternyata senjata yang pernah dia beli
secara ilegal itu sekarang berguna. Dia melesat lagi dengan Skyboatnya menuju
pusat kota.
Keadaan di pusat kota
saat ini lenggang. Tak ada warga yang berani keluar. Dan polisi pun sudah
mengosongkan semua wilayah kota. Televisi yang menginformasikan secara live
membuat mereka ketakutan. Android itu sudah lepas kontrol. Seorang polisi sudah
terbunuh saat berusaha menangkap android itu. Android itu benar-benar seperti mesin pembunuh.
Leo menyetir skyboatnya
rendah, mengawasi keadaan di bawah. Disetelnya televisi di dalam skyboatnya. Gambar
menayangkan tentang android itu. Sosok besar dan berwajah dingin. Leo memandang
penuh amarah pada layar televisi di hadapannya itu. Dicengkramnya setir
kuat-kuat lalu melayang turun ke bawah. Dia memarkir skyboatnya pelan di balik
tembok sebuah gedung. Dipersiapkannya radar pendekteksi android yang dia curi
dari laborarium dan senjata lasernya. Dia tampak tegang mengawasi sekitar.
Sepuluh menit kemudian
radarnya berkedip-kedip merah. Tanda mendekteksi keberadaan mesin yang terbalutkan
fiber itu. Leo bersiap. Raut wajahnya menegang. Dia belum berpengalaman
menghadapi android. Dia tahu dia bisa saja terbunuh juga. Tapi saat ini ingin rasanya
dia meledakkan dirinya saja bersama android itu!
Android itu melangkah pelan.
Kedua matanya mengawasi sekitar dengan wajah tanpa ekspresi. Senjata laser
dipanggulnya di pundak.
Akan kuhancurkan kamu
berkeping-keping! Leo melesat keluar dari persembunyiannya tapi lengannya
ditarik seseorang. Dia tersentak kaget dan menoleh. Ada seorang gadis cantik menatapnya
sedih.
“Jangan… kamu bisa
terbunuh…”
“Siapa kamu?”
“Aku Nivea, aku diutus
Profesor Felix untuk mencegahmu melakukan tindakan bodoh!”
Leo mengeram. “Kalo
begitu sia-sia saja, karena aku tetap akan menghancurkan android itu dengan
tanganku sendiri!” Dilepaskannya tangan Nivea dari lengannya dengan kasar.
Nivea terdiam. Menatap bola
mata Leo yang bersinar penuh dendam.
“Kalo begitu, aku akan membantumu…”
kata gadis berambut sebahu itu lirih.
“Apa?” Leo tersentak.
Menatap gadis itu tak mengerti. Kenapa gadis ini tiba-tiba mau mempertaruhkan
nyawa untuk membantunya?
“Seperti yang kamu
ketahui, tak akan mudah menghancurkan android itu. Lapisan kulit fibernya telah
diperkuat tahan pada peluru.”
“Tapi
bagaimana caranya menghancurkan dia? Dia Automatic Robot yang bergerak berdasarkan
perintah-perintah yang telah diprogramkan sebelumnya. Bagaimana cara membatalkan
programnya?”
“Ingat,
dia memang humanoid, mesin tiruan manusia tapi dia bukan manusia. Dia hanya
mesin,” ucap Nieva sambil tersenyum tipis. “Pasti ada kelemahan yang bisa
mematikan dia tanpa menghancurkannya.”
“Apa?”
Nivea hanya tersenyum.
* * *
Suasana kota lenggang,
nyaris seperti kota mati. Dalam radius 200 km dari Universitas telah dinyatakan
wilayah berbahaya karena kaburnya android itu. Sampai android itu berhasil
ditangkap, semua warga diharap tidak keluar dari rumah. Tim khusus berbaju anti
peluru dan bersenjata laser telah dikerahkan. Bertebaran di seisi kota. Tapi
itu pun tak mengubah niat Leo untuk membatalkan niatnya menghancurkan android
yang telah membunuh sahabatnya.
Leo dan Nivea
mengendap-endap. Mereka menggenggam erat senjata laser. Dengan alat sensor
gerak yang dipegang Nivea mudah bagi mereka menemukan keberadaan android itu. Androd
itu berdiri dengan pongahnya di atas sebuah Gedung.
“Ingat, Leo. Asal kamu
bisa memukul android itu sampai terjembab, aku akan bisa mengambil chip yang
berada di lehernya.”
Leo mengangguk mantap.
Dia sudah mengenakan baju baja dan pistol laser. Dia yakin bisa menjatuhkan
android itu. Dengan sabuk hitam yang disandangnya, android yang kaku itu tak
akan bisa mengalahkan kegesitannya berkarate. Dalam sepuluh menit mereka telah
sampai di puncak gedung. Android menoleh ke arah mereka dan menatap dingin. Mengarahkan
senapan yang dipegangnya ke arah mereka. Leo dan Nivea berlari menghindari. Mereka
bersembunyi di balik tembok. Android itu
dilengkapi oleh sensor gerak, jadi Leo dan Nivea sedapat mungkin tidak
bergerak.
Setelah android itu
berada di dekat mereka, Leo melompat dan menubruk android itu. Nivea langsung
memukul kepala android, mengingat Leo tak akan kuat menahan android bertubuh
besar itu lebih lama lagi.
Nivea menekan leher
android itu dan keluarlah sebuah chip yang membuat android itu jadi tidak
bergerak. Tapi kebencian dan amarah menguasai Leo, dia memukuli android itu
sampai kulit wajahnya terkelupas dan menampakkan mesin berlilitkan kabel-kabel.
“Leo, hentikan!” cegah
Nivea.
Tim khusus universitas
berdatangan dan membawa android itu.
* * *
Leo menghirup aroma
segar bunga mawar lalu menaburkannya di makam Alex. Airmatanya menetes.
“Leo… apa kamu juga
akan membenciku kalo tahu yang sebenarnya?” Sorot mata Nivea tampak sedih.
“Kenapa aku akan
membencimu?” Leo menoleh dan menghapus airmatanya.
“Aku sebenarnya harus
merahasiakan ini, tapi aku tak bisa membohongimu.” Nivea mengambil sebuah pisau
dari saku kirinya dan menggoreskannya pada lengannya yang mulus.
Hukum
Ketiga, robot harus melindungi keberadaan dirinya sendiri.
“Nivea!” Leo tersentak
melihat isi lengan Nivea adalah lilitan kabel-kabel bukan daging dan tulang
yang dialiri oleh darah.
“Maaf, Leo… aku juga
adalah android. Aku android yang diciptakan untuk melindungi dan mencintai. Dan android yang memiliki emosi seperti
manusia. Aku ciptaan Profesor Arman. Manusia tiruan yang sempurna. Dan aku
mencintaimu, Leo…”
Leo merasa limbung.
* * *
Ditulis : 03 Desember 2010
Dikirim : Minggu, 03 April 2011
Konfirmasi : Senin, 05 september 2011
Dimuat di
Majalah Story : Edisi Edisi 26
Th III/25 September-24 Oktober 2011